MAJALAH NARASI— Dalam lanskap sastra kontemporer Indonesia, nama Muhammad Alfariezie menonjol sebagai penyair muda yang mampu menggabungkan kecerdasan imajistik dengan kritik sosial-politik yang tajam. Lahir dan besar di Kota Bandar Lampung, Alfariezie tidak hanya menguasai teknik satire sosialisme, tetapi juga lihai menyisipkan frasa imaji abstrak yang mampu membangun kesadaran kritis masyarakat melalui karya-karyanya.
Salah satu karya terbarunya, puisi Benih Khianat di Kota Merdeka, menegaskan kemampuan Alfariezie memanfaatkan bahasa sebagai senjata moral dan politik. Puisi ini menyoroti praktik penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal, khususnya oleh pejabat pemerintahan Kota Bandar Lampung, dan sekaligus menjadi cerminan perasaan kolektif masyarakat terhadap ketidakadilan yang mereka saksikan.
Imaji Sebagai Pisau Analisis Sosial
Puisi Benih Khianat di Kota Merdeka bisa dibaca melalui lensa imajisme (imagism), sebuah teori puisi yang digagas Ezra Pound dan Amy Lowell. Imajisme menekankan kesederhanaan bahasa, kejelasan citraan, dan kepadatan makna. Dalam konteks puisi Alfariezie, setiap imaji berfungsi sebagai alat berpikir visual yang memudahkan pembaca merasakan secara langsung ketidakadilan dan dilema sosial yang terjadi di Kota Bandar Lampung.
Contoh imaji paling menonjol terdapat pada larik awal:
Masa depan Bandar Lampung
enggak boleh tumbuh dari
benih-benih khianat wali kota
Di sini, “benih khianat” menjadi simbol kuat tentang proses pertumbuhan masa depan kota yang justru dirusak dari akarnya. Simbol ini bukan sekadar metafora etis, tetapi kritik nyata terhadap kebijakan atau tindakan politik yang korup dan merugikan masyarakat. Alfariezie memanfaatkan imaji ini untuk menggugah kesadaran pembaca, menegaskan bahwa kemajuan kota tidak bisa lahir dari fondasi yang busuk.
Kontras Nasional dan Realitas Lokal
Larik selanjutnya:
Bandar Lampung bercita-cita
Sama dengan Indonesia
menampilkan imaji nasional yang menegaskan bahwa Bandar Lampung, meski kota kecil, memiliki aspirasi setara dengan idealisme negara. Namun, imaji ini segera dibenturkan dengan realitas lokal yang korup:
Kota ini terhina jika menjebak
siswa untuk enggak berijazah
demi ide penggila mencuil
duit negara
Kontras ini menciptakan guncangan moral visual, memperlihatkan dua wajah Kota Bandar Lampung: satu ideal, satu bobrok. Alfariezie secara visual menempatkan pembaca di tengah konflik etika yang kompleks, menghadirkan pengalaman estetis sekaligus politis.
Empati Kolektif dan Masa Depan Digital
Penggunaan repetisi kata “kasihan” dalam larik-larik berikut:
Kasihan jika nanti sulit
membangun hijau klan digital
Kasihan bila ke depan terus
mengurus pra sejahtera
menunjukkan kemampuan penyair membangun imaji empatik yang menyentuh hati. “Hijau klan digital” menghadirkan citraan futuristik, sebuah kota yang modern, ramah lingkungan, dan inklusif, tetapi terhalang oleh kebijakan buruk. Kata “kasihan” mempertegas luka kolektif masyarakat yang terjebak dalam birokrasi yang cacat.
Klimaks Politik dan Revolusi Rakyat
Puncak puisi muncul pada larik:
Kota ini merdeka bukan untuk
mereka yang bejat! Daulat
rakyat untuk kita yang hebat
Di sini, Alfariezie memunculkan imaji revolusioner. Kata “Daulat rakyat” menjadi simbol kebangkitan politik masyarakat sipil, bukan sekadar slogan, tetapi seruan nyata untuk melawan penguasa yang menyeleweng. Imaji “kita yang hebat” menghadirkan rasa optimisme kolektif, mengajak pembaca untuk menjadi bagian dari perubahan sosial.
Bahasa Sebagai Senjata Visual
Keunggulan puisi Alfariezie terletak pada transformasi bahasa menjadi senjata visual yang kompleks. Imaji — dari “benih khianat” hingga “daulat rakyat” — bergerak dari kritik individu ke refleksi sosial dan akhirnya aspirasi nasional. Struktur ini menunjukkan keterampilan penyair dalam mengolah citraan sebagai alat perjuangan moral dan politik, menjadikan puisi tidak hanya karya sastra tetapi juga manifesto etika publik.
Kesimpulan: Imaji-Sosial Politik sebagai Identitas Baru
Puisi Benih Khianat di Kota Merdeka membuktikan bahwa Alfariezie bukan sekadar penyair estetis, tetapi juga pengamat sosial-politik yang tajam. Imaji yang digunakan bersifat komunikatif, mendidik, sekaligus menggugah. Melalui karya ini, penyair muda Bandar Lampung menegaskan bahwa kemerdekaan sejati sebuah kota hanya bisa tumbuh dari benih kejujuran, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi senjata moral yang mampu mengubah cara masyarakat memandang kekuasaan, tanggung jawab, dan masa depan kota.***














