MAJALAH NARASI- Gelombang polemik kembali menyelimuti dunia pendidikan di Bandar Lampung. SMA Swasta Siger menjadi sorotan nasional setelah dokumen AHU Kemenkumham mengungkap bahwa Eka Afriana—saudari kembar Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana—merupakan satu dari lima pendiri yayasan sekolah tersebut. Fakta ini langsung memantik beragam asumsi negatif dan kecurigaan publik.
Eka Afriana sendiri bukan figur biasa di lingkungan Pemkot. Ia memegang tiga posisi strategis sekaligus: Asisten, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta Ketua PGRI Kota Bandar Lampung periode 2024–2029. Di tengah sejumlah jabatan penting itu, kabar mengejutkan muncul dari laporan Rajawalinews yang menyebut nilai kekayaan Eka mencapai Rp40,45 miliar. Angka fantastis ini bahkan melampaui kekayaan kakaknya, Eva Dwiana, yang pada 2024 hanya tercatat sekitar Rp11 miliar.
Tetapi pertanyaan publik jauh melampaui soal kekayaan pribadi. Mengapa SMA Siger milik Eka justru menggunakan aset negara seperti bangunan SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44? Tanda tanya itu semakin membesar setelah pernyataan Eva Dwiana pada 15 Juli 2025 yang menyebut rencana menutup SD sepi murid demi mendukung keberadaan SMA Siger. Tidak hanya itu, terminal Panjang pun sempat diwacanakan menjadi gedung baru sekolah tersebut.
Ironisnya, lembaga pendidikan yang disebut-sebut mendapat dukungan luar biasa dari Pemkot ini ternyata belum mengantongi legalitas resmi. SMA Siger belum diakui oleh Disdikbud Lampung maupun Kemendikbud karena belum mengajukan perizinan dan belum terdaftar pada sistem dapodik. Padahal dokumen resmi Kemenkumham tertanggal 31 Juli 2025 sudah jelas menyatakan bahwa yayasan sekolah tersebut bersifat perorangan—di mana dua pemilik utamanya adalah Eka Afriana dan mantan Plt Sekda Bandar Lampung, Khaidarmansyah.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: atas dasar apa Pemkot Bandar Lampung terus mendorong operasional sekolah swasta yang tidak memenuhi syarat legal? Apakah benar demi percepatan pendidikan warga prasejahtera, atau justru ada kepentingan lain yang bertolak belakang dengan aturan seperti Permendagri, UU Sisdiknas, hingga perda dan perwali yang diteken Wali Kota sendiri?
Dosen Ilmu Pemerintahan Unila, Dedi, jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar Pemkot berhati-hati dalam penyelenggaraan SMA Siger, terutama pada masa awal SPMB. Ia menekankan pentingnya ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Kini, ketika publik telah mengetahui bahwa sekolah tersebut adalah milik pribadi dan bukan milik Pemkot, tuntutan akan kejelasan dan akuntabilitas semakin keras disuarakan. Semua pihak kini menunggu sikap tegas DPRD Kota Bandar Lampung. Lembaga legislatif itu diminta segera mengevaluasi penganggaran serta penggunaan aset negara untuk sekolah yang kepemilikannya sepenuhnya berada di tangan perorangan.
Dengan nilai kekayaan pemilik mencapai lebih dari Rp40 miliar, publik semakin mempertanyakan urgensi Pemkot untuk mengalokasikan perhatian dan fasilitas besar terhadap SMA Siger. Sementara di sisi lain, banyak SMA swasta lainnya justru berjuang agar tidak tutup karena minim bantuan pemerintah.
Kontroversi ini menguak banyak lapisan persoalan: legalitas, etika publik, penggunaan aset negara, hingga dugaan konflik kepentingan. Masyarakat kini menunggu langkah konkret, bukan sekadar pernyataan.
Apakah DPRD akan bersikap cepat dan cerdas? Atau polemik ini akan terus berlarut dan menjadi preseden baru dalam tata kelola pendidikan di daerah?
Jawabannya masih ditunggu publik.***














