MAJALAH NARASI— Situasi panas kembali terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam lanjutan praperadilan kasus PT Lampung Energi Berjaya (LEB). Sidang pada Kamis (4/12) memasuki agenda penyampaian kesimpulan, dipimpin Hakim Tunggal Muhammad Hibrian, dan berlangsung cukup cepat. Agenda puncak berupa putusan akan dibacakan Senin, 8 Desember 2025.
Namun, bukan jalannya sidang yang menjadi sorotan publik. Pernyataan Kuasa Hukum PT LEB, Riki Martim, justru memicu perhatian karena menohok langsung klaim Kejaksaan Tinggi Lampung yang menyebut bahwa penyidikan PT LEB dapat dijadikan “role model” tata kelola Participating Interest (PI) 10%.
Menurut Riki, klaim tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi mengacaukan tatanan hukum migas yang selama ini sudah berjalan dengan standar nasional yang jelas.
“Penegak hukum itu tugasnya menegakkan aturan, bukan menciptakan model baru yang bertentangan dengan UU Migas, PP 35/2004, Permen ESDM 37/2016, UU PT, dan PP 54/2017 tentang BUMD,” tegas Riki. Ia menilai langkah Kejati Lampung bukan saja keluar dari kewenangan, tetapi juga dapat memicu kekacauan dalam tata kelola migas secara nasional.
Mengupas PI 10% yang Sudah Memiliki Aturan Bakunya
Dalam penjelasannya, Riki menegaskan bahwa Participating Interest (PI) 10% bukanlah konsep abu-abu. Regulasi terkait skema ini sudah sangat lengkap dan berlapis, mulai dari UU Migas, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga pedoman SKK Migas. Setiap daerah yang memiliki BUMD telah menerapkan model yang sama: bekerja sama secara business to business dengan kontraktor migas, pendapatan PI masuk sebagai pendapatan usaha, digunakan sesuai RKAP, disahkan melalui RUPS, dan diaudit KAP independen.
Ia menambahkan bahwa ada 11 BUMD pengelola PI 10% yang telah berjalan lama dan semuanya diaudit oleh berbagai lembaga, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, Kantor Akuntan Publik, KPP Pajak, Inspektorat, hingga KPK. Tidak ada satu pun yang pernah menyatakan bahwa model pengelolaan PI bertentangan dengan hukum. Artinya, sistem yang berjalan selama ini sudah memperoleh pengakuan de facto dari berbagai lembaga pengawas negara.
Kekhawatiran Kriminalisasi Nasional Jika Persepsi Keliru Dipaksakan
Yang membuat situasi semakin pelik adalah cara pandang Kejaksaan yang menganggap pendapatan PI tidak boleh digunakan sebagai modal kerja operasional. Menurut Riki, logika tersebut tidak ada dalam kerangka hukum migas mana pun. Bahkan, konstruksi hukum yang digunakan dalam penyidikan PT LEB dianggap sebagai sesuatu yang “mengada-ada”.
Riki mengingatkan, jika tafsir Kejaksaan dipaksakan, dampaknya bisa sangat luas. Semua BUMD PI yang selama ini menjalankan operasional migas bisa terseret dalam potensi kriminalisasi. BUMD di Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan berbagai daerah lain bisa ikut terimbas.
Lebih jauh lagi, lebih dari 70 daerah yang sedang memproses PI 10% bisa menghentikan langkahnya karena ketakutan akan risiko hukum. Akibatnya, investasi migas yang sangat bergantung pada kepastian regulasi bisa terhenti dan memengaruhi pendapatan daerah yang biasanya berasal dari dividen PI.
Suara serupa sebenarnya sudah diingatkan oleh Sekjen ADPMET, Dr. Andang Bachtiar. Ia menilai kriminalisasi terhadap pengelolaan PI dapat membuat pemerintah daerah maupun BUMD merasa terancam dan waswas, sehingga enggan terlibat dalam bisnis migas. Kondisi seperti ini berpotensi menurunkan partisipasi daerah dalam pengembangan energi nasional.
“Role Model” Kejaksaan Justru Bisa Jadi Bencana Nasional
Riki menegaskan bahwa jika Kejaksaan benar-benar ingin menciptakan “role model”, maka mereka harus menggunakan model yang sesuai dengan aturan, bukan model yang keluar dari kerangka hukum. Jika dipaksakan, apa yang disebut “role model” itu justru dapat berubah menjadi “disaster model” bagi tata kelola migas di Indonesia.
Ia menambahkan bahwa sistem PI 10% sudah memiliki pola yang sama di seluruh Indonesia: pendapatan masuk sebagai revenue korporasi, digunakan untuk operasional sesuai RKAP, dividen disahkan melalui RUPS, kemudian masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui mekanisme PP 54/2017. Tidak ada yang janggal dari mekanisme ini dan semuanya telah berjalan bertahun-tahun.
“Kalau versi Kejaksaan diikuti, maka seluruh regulasi migas yang ada selama ini tidak bisa dijalankan. SKK Migas, Kementerian ESDM, Kemenkeu, BPKP, dan seluruh BUMD PI dikatakan salah semua. Apakah masuk akal menyimpulkan bahwa semua pihak itu tidak paham aturan?” ujar Riki.
Role Model yang Sesungguhnya
Di akhir pernyataannya, Riki menyampaikan bahwa jika Kejaksaan ingin melihat role model yang sebenarnya, maka role model itu adalah ketika BUMD menjalankan PI sesuai aturan, laporan keuangan diaudit secara profesional, dividen ditetapkan transparan, daerah menerima PAD, dan tidak ada satu rupiah pun yang hilang.
Menurutnya, jika model seperti ini justru dikriminalkan, maka persoalan yang dihadapi bukan hanya PT LEB, tetapi juga ketidakwarasan dalam logika penegakan hukum di negeri ini.
Sidang putusan Senin mendatang menjadi momen penentu. Apakah sistem hukum akan kembali pada regulasi yang sudah mapan, atau justru membuka jalan pada model baru yang bisa mengguncang industri migas nasional? Publik kini menunggu dengan penuh perhatian.***














