MAJALAH NARASI – Polemik kasus dugaan korupsi PT Lampung Energi Berjaya (LEB) memasuki babak baru setelah rangkaian sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang mengungkap kejanggalan yang dinilai sangat mendasar. Hingga hari keenam sidang, Kamis (4/12), permintaan pemohon praperadilan, M. Hermawan Eriadi, untuk diperlihatkan nilai kerugian negara (KN) yang menjadi dasar penetapan tersangka tak kunjung dipenuhi oleh Kejaksaan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: benarkah negara dirugikan, atau justru ada proses hukum yang dipaksakan tanpa bukti yang jelas?
Penasihat hukum PT LEB, Riki Martim, menegaskan bahwa sejak dimulainya penyidikan pada Oktober 2024 hingga penetapan tersangka, pihaknya tak pernah menerima penjelasan resmi mengenai angka kerugian negara. Menurutnya, kejaksaan seolah menjalankan proses hukum tanpa fondasi paling penting yang diwajibkan dalam perkara tindak pidana korupsi.
“Laporan audit BPKP yang disebut sebagai dasar perhitungan kerugian negara pun tidak pernah diberikan secara utuh. Tidak pernah ada angka pasti, tidak pernah ada penyampaian resmi kepada para tersangka maupun kepada kami selaku kuasa hukum,” ujar Riki.
Ia menilai hal ini sangat janggal. Dalam standar hukum Tipikor, kerugian negara harus nyata, pasti jumlahnya, final, dan terkait langsung dengan perbuatan melawan hukum. Tanpa unsur tersebut, perkara korupsi tidak dapat berjalan. Namun kondisi yang terjadi pada kasus PT LEB justru berlawanan.
Riki menjelaskan bahwa sejak 2024, berbagai isu yang dilemparkan kejaksaan seperti pendapatan PI 10%, dana dividen, deposito, gaji hingga selisih kurs, seluruhnya telah dibantah oleh laporan keuangan audited dari Kantor Akuntan Publik independen. Bahkan telah diperiksa oleh BPK, BPKP, KPP Pajak hingga Itjen Kemendagri—yang semuanya menyatakan tidak ada penyimpangan.
Bahkan, klaim Kejaksaan bahwa PT LEB diduga menyembunyikan USD 1,4 juta dalam laporan keuangan 2023 dibantah tegas oleh BPKP. Uang tersebut tercatat jelas dalam laporan resmi dan legal. Namun meski bantahan itu kuat, akun perusahaan tetap disita. Akibatnya, PT LEB tidak dapat membayar gaji karyawan.
“Ini bukan hanya kesalahan prosedur, tapi pembunuhan karakter. Zalim,” kata Riki.
Dokumen Dasar Penyidikan Diduga Tidak Lengkap
Dalam sidang praperadilan, dugaan ketidakjelasan ini makin menguat setelah kuasa hukum PT LEB mengungkap bahwa dokumen yang seharusnya menjadi dasar perhitungan kerugian negara ternyata tidak lengkap.
Halaman laporan audit yang seharusnya utuh justru meloncat-loncat: dari halaman 1 langsung ke 11, lalu ke 108, 109, kemudian 116.
“Bagaimana mungkin unsur kerugian negara bisa dibuktikan dari dokumen yang bolong? Kita tidak tahu apa yang hilang di halaman-halaman tersebut. Ini fatal,” tegas Riki.
Pendapat Ahli: Kerugian Negara Harus Jelas Sejak Awal
Dalam persidangan, ahli keuangan negara dari Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, memaparkan bahwa kerugian negara tidak boleh hanya berupa indikasi, melainkan harus:
- nyata,
- pasti jumlahnya,
- dapat dihitung, dan
- wajib disampaikan kepada pihak yang diduga bertanggung jawab.
“Jika laporan audit tidak final, tidak disampaikan, atau tidak bisa diuji, itu bukan alat bukti. Tidak bisa dipakai untuk menetapkan tersangka,” tegas Dian.
Ahli pidana UI, Akhyar Salmi, menambahkan bahwa penyidik wajib memeriksa calon tersangka secara substantif sebelum penetapan, sesuai Putusan MK No. 21/2014. Dalam perkara Tipikor, kerugian negara adalah delik utama. Jika belum ada angka KN, maka unsur delik tidak terpenuhi.
“Bagaimana mungkin seseorang ditetapkan tersangka jika kerugian negaranya saja belum ada?” ujar Akhyar.
Kejaksaan Dianggap Tidak Transparan
Kejaksaan memang menunjukkan beberapa BAP saksi, seperti Kepala Biro Perekonomian Pemprov Lampung Rinvayanti, Komisaris LJU Taufik Hidayat, dan Dirut LJU Arie Sarjono. Namun pihak pemohon tidak diberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi atau konfrontasi.
Menurut kuasa hukum, ini menambah daftar ketidakadilan dalam proses penyidikan.
“Pra peradilan seharusnya menjadi tempat menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka. Jika unsur kerugian negara tidak pernah jelas, perbuatan melawan hukum tidak terurai, dan proses tidak transparan, bagaimana mungkin penyidikan ini dapat dibenarkan?” ujar Riki.
Ia berharap hakim akan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut dan memberikan putusan yang adil, mengingat bahwa inti perkara ini berpotensi besar merugikan banyak pihak, termasuk perusahaan, pegawai, dan bahkan iklim investasi daerah.***














