MAJALAH NARASI– Puisi kontemporer “Mati Dalam Sunyi” karya Muhammad Alfariezie menyajikan kisah tragis sepasang kekasih yang memilih hidup eksklusif berdua, meninggalkan keluarga dan masyarakat. Mereka percaya cinta dapat menjadi dunia yang cukup, namun justru berakhir dalam kematian dan kesunyian. Meski singkat, karya ini kaya makna dan relevan dianalisis melalui lensa postmodernisme — menolak kebenaran tunggal, menyoroti fragmentasi makna, dekonstruksi nilai, serta ironi eksistensial manusia.
Puisi tersebut menggugat metanarasi modern tentang cinta ideal, menegaskan bahwa cinta bukan jaminan kebahagiaan. Bait pembuka menegaskan keputusan radikal pasangan:
“Sepasang kekasih mati
dalam sunyi pasca-sepakat
melupakan teman-orang tua
karena memilih hidup berdua”
Keputusan ini menandakan penolakan terhadap norma sosial dan moral konvensional. Mereka hidup dalam narasi kecil, “berdua saja”, yang mereka kira cukup untuk menampung makna hidup. Namun, kebahagiaan yang mereka bayangkan tidak tercapai. Lyotard menekankan ketidakpercayaan terhadap narasi besar, dan puisi ini menggambarkan bagaimana narasi kecil pun rapuh ketika realitas kehidupan menghadang.
Dalam perspektif Derrida, puisi ini mendekonstruksi romantisme. Kata-kata yang awalnya romantis, seperti “berdua saja” dan “menari ombak, bernyanyi karang”, justru berubah menjadi ironi tragis. Bait akhir puisi:
“dan mereka marah hingga saling tujah
karena betapa lapar dan dahaga hidup
hanya berdua”
menunjukkan runtuhnya cinta sebagai simbol kebahagiaan. Hierarki makna dibalik romantisme diputarbalikkan: sesuatu yang dianggap luhur justru menjadi sumber penderitaan. Sunyi menjadi simbol kehampaan yang lahir dari pilihan eksklusif mereka, sekaligus cerminan isolasi eksistensial di era pascamodern.
Jean Baudrillard menyoroti konsep simulakra — realitas yang kehilangan keaslian karena meniru bayangan. Puisi ini menggambarkan pasangan kekasih yang hidup dalam simulasi cinta. Dunia “berdua saja” adalah dunia semu, indah di permukaan namun rapuh ketika realitas hidup (lapar, dahaga, keterbatasan) datang. Tragedi pada akhir puisi menegaskan kehancuran simulakra itu, memperlihatkan pertemuan pahit antara ilusi dan kenyataan.
Struktur puisi yang fragmentaris dan non-linear juga menekankan karakter postmodern: realitas yang tercerai-berai, tanpa jawaban pasti. Tidak ada penjelasan tentang siapa mereka, di mana, atau bagaimana kematian terjadi. “Sunyi” menjadi ruang interpretasi pembaca. Dalam logika postmodern, pembacalah yang membangun makna, sehingga puisi ini bersifat terbuka dan memungkinkan berbagai interpretasi — sebagai kehancuran cinta, kegagalan eksistensial, atau metafora isolasi sosial modern.
Kesimpulannya, “Mati Dalam Sunyi (2025)” merupakan representasi kuat postmodernisme dalam sastra Indonesia. Dengan bahasa sederhana namun paradoksal, Alfariezie menggugat klaim lama tentang cinta, kebahagiaan, dan makna hidup. Menggunakan perspektif Lyotard, Derrida, dan Baudrillard, puisi ini menunjukkan bahwa:
- Tidak ada kebenaran tunggal tentang cinta (Lyotard);
- Cinta dapat didekonstruksi menjadi sumber penderitaan (Derrida);
- Dunia cinta yang dibangun hanyalah simulasi rapuh (Baudrillard).
Akhirnya, “Mati Dalam Sunyi” menjadi potret manusia postmodern yang terperangkap dalam ilusi cinta dan kehilangan arah di tengah sunyi dunia yang mereka ciptakan sendiri, sekaligus mengundang pembaca untuk merenungkan hakikat kebahagiaan, eksistensi, dan hubungan manusia dengan masyarakat.***
 
	    	 
                                






 
							






