MAJALAH NARASI- Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung berhasil memenangkan sidang pra peradilan yang diajukan oleh Direktur Utama PT LEB, M. Hermawan Eriadi, pada Senin, 8 Desember 2025. Hakim tunggal Muhammad Hibrian memutuskan menolak seluruh permohonan pemohon, sehingga penetapan M. Hermawan Eriadi sebagai tersangka oleh Kejati Lampung tetap sah dan dapat berlanjut.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, hakim menegaskan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima. “Menimbang hasil persidangan, permohonan pemohon kami nyatakan tidak dapat diterima,” kata Muhammad Hibrian. Keputusan ini secara langsung memupus tafsiran yang muncul dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII, yang sebelumnya mewajibkan penyidik memeriksa calon tersangka secara materiil sebelum penetapan.
Sebelumnya, dalam jalannya sidang, beberapa saksi ahli dari Universitas Indonesia, seperti Akhyar Salmi dan Dian Puji Nugraha Simatupang, berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap Hermawan Eriadi oleh Kejati Lampung tidak sah. Mereka berargumen bahwa pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, sehingga tidak memiliki kesempatan memberikan klarifikasi sesuai fakta yang terjadi di lapangan.
Namun, pihak Kejati Lampung menegaskan bahwa dalam KUHAP tidak dikenal istilah pemeriksaan sebagai calon tersangka. “Pemeriksaan sebagai saksi sudah cukup untuk memberikan dasar penetapan tersangka,” jelas perwakilan Kejati Lampung. Pendapat ini diperkuat dalam persidangan hari keempat, Rabu, 3 Desember 2025, saat saksi ahli menanggapi pertanyaan jaksa mengenai apakah PT LEB memperoleh fasilitas negara, termasuk melalui participating interest (PI) 10%. Dian Simatupang menegaskan, PI 10% bukanlah fasilitas negara, melainkan justru menghasilkan pendapatan bagi negara dan daerah dalam bentuk dividen.
Dalam sidang tersebut, ahli hukum keuangan publik dan perpajakan Universitas Indonesia juga menyoroti pentingnya adanya laporan hasil audit kerugian negara dari lembaga berwenang sebagai dasar penetapan tersangka. Dian menekankan bahwa hanya indikasi atau dugaan kerugian tidak bisa menjadi dasar sah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. “Kerugian negara harus nyata, pasti, dan terukur sesuai UU No. 15/2004, UU No. 15/2006, dan Peraturan BPK No. 1/2020,” ujar Dian.
Selain itu, Akhyar Salmi menekankan bahwa alat bukti yang tidak lengkap tidak dapat dijadikan dasar penetapan tersangka. “Jika bukti hanya sebagian dari ratusan halaman, itu tidak bisa dianggap sah,” katanya. Pernyataan ini menyoroti pentingnya keutuhan dan keabsahan dokumen dalam proses hukum, khususnya dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di sektor migas.
Kuasa hukum pemohon, Riki Martim, sempat menyatakan bahwa Kejati Lampung tidak melengkapi berkas sangkaan terkait kerugian negara yang diduga dialami. Pernyataan ini menjadi salah satu titik penting dalam argumen pra peradilan, meskipun hakim akhirnya menolak seluruh permohonan.
Dengan putusan hakim tunggal Muhammad Hibrian, seluruh argumentasi yang diajukan oleh saksi ahli terkait SEMA dan putusan MK tidak mempengaruhi status tersangka Hermawan Eriadi. Keputusan ini menjadi titik penting dalam memastikan proses hukum tetap berjalan sesuai prosedur yang berlaku, tanpa mengabaikan fakta lapangan dan ketentuan hukum yang sah.
Status tersangka M. Hermawan Eriadi terkait dugaan tipikor dana PI 10% tetap berlaku. Kasus ini menjadi sorotan penting di kalangan pengelola migas di seluruh Indonesia karena terkait langsung dengan pengelolaan dana yang bersifat strategis dan berdampak pada penerimaan negara. Keputusan hakim juga menjadi preseden penting dalam menegakkan prinsip hukum bahwa penetapan tersangka harus tetap mempertimbangkan prosedur yang sah dan bukti yang memadai, sekaligus menegaskan kewenangan Kejati Lampung dalam menangani kasus ini.***














