MAJALAH NARASI– Publik Kota Bandar Lampung kembali diguncang oleh polemik alih fungsi Terminal Panjang menjadi SMA Swasta Siger, sekolah kontroversial bentukan Wali Kota Eva Dwiana yang kini dikenal dengan julukan “The Killer Policy.” Di tengah kontroversi ini, sikap Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Bandar Lampung dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Agus Jumadi, menjadi sorotan utama.
Agus Jumadi, yang juga menjabat Ketua Komisi III DPRD, diduga bungkam ketika dimintai konfirmasi terkait transparansi anggaran untuk proyek SMA Swasta Siger. Bahkan saat ditanya melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 4 Oktober 2025, politisi PKS ini memilih tidak memberikan jawaban, padahal isu alih fungsi Terminal Panjang masuk dalam lingkup tanggung jawab Komisi III, yang membawahi urusan penataan ruang, perhubungan, dan pekerjaan umum.
Sikap diam Agus Jumadi memunculkan pertanyaan serius di masyarakat: apakah Komisi III benar-benar menjalankan fungsi pengawasan atau justru tersandera politik demi kepentingan tertentu? Publik mulai menilai bahwa DPRD Kota Bandar Lampung, melalui Komisi III, terlihat menutup mata terhadap kebijakan kontroversial yang diduga sarat kepentingan politik dan pemanfaatan aset publik untuk agenda pribadi.
Sejumlah aktivis menegaskan bahwa diamnya DPRD, khususnya Ketua Komisi III, merupakan bentuk pembiaran terhadap kebijakan tanpa dasar hukum yang jelas. Mereka menuntut agar DPRD segera menjalankan fungsi pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas anggaran, bukan hanya beretorika di ruang sidang atau media sosial.
“Kalau DPRD diam, siapa lagi yang mengawal kepentingan rakyat? Jangan sampai DPRD justru menjadi bagian dari permainan politik anggaran Pemkot,” ujar Hendri Adriansyah, SH, MH, praktisi hukum yang aktif menyoroti skandal SMA Swasta Siger, Minggu (5/10/2025).
Lebih lanjut, para pengamat menilai bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk jika DPRD tidak bertindak tegas. Alih fungsi terminal yang seharusnya menjadi fasilitas publik menjadi gedung sekolah swasta, tanpa kajian yang jelas dan tanpa pengumuman yang transparan kepada warga, berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Kepada publik, muncul pertanyaan: apakah Agus Jumadi dan Fraksi PKS akan berani membuka suara, menegakkan fungsi pengawasan, dan menuntut kejelasan anggaran, atau tetap memilih diam di balik politik pencitraan? Tekanan terhadap DPRD semakin meningkat, terutama dari warga yang menuntut transparansi dan keadilan penggunaan aset publik.
Dengan semakin memanasnya isu ini, publik Kota Bandar Lampung menanti langkah nyata dari Komisi III DPRD untuk membuktikan bahwa fungsi pengawasan tidak sekadar formalitas, melainkan menjadi benteng perlindungan terhadap kepentingan rakyat.***














