MAJALAH NARASI – Murid SMK Samudera tidak mengenal keterbatasan. Kendati bangunan sekolah mereka hanya ruko dua lantai, mereka tetap antusias menunjukkan eksistensi, setidaknya di Kecamatan Kemiling, dalam menyambut peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tepat pada 17 Agustus 2025.
Bermacam lomba tradisional mereka gelar dari sumbangan ketua yayasan, dewan guru, dan patungan para murid. Hasilnya tidak banyak, tidak lebih dari Rp1 juta, tetapi cukup untuk menunjukkan kepada dunia bahwa di Indonesia ada mereka: siswa dan siswi SMK Samudera yang berpikir dalam dan luas.
Inisiatif mereka sebagai orang terdidik yang selalu belajar, membaca, dan memahami banyak hal tampak jelas pada Senin, 11 Agustus 2025. Mereka membuka “jendela sekitar”, memeriahkan Stadion Mini Kalpataru untuk memulai ajang perlombaan Merah Jambu. Bukan untuk unjuk taring atau kekuatan sendiri, melainkan juga mempererat persahabatan, persaudaraan, dan menumbuhkan rasa bangga.
Mereka juga menyulap lantai atas bangunan sekolah yang hanya satu ruko itu menjadi semacam arena lomba melantunkan senandung kebangsaan dan lagu daerah sebagai alarm kebudayaan, serta menggelar lomba estafet tepung terigu sebagai pengingat bahwa harga singkong—bahan baku pembuatan tepung terigu—sekarang ini sangat tidak menyejahterakan petani Lampung yang katanya Lokomotif Pertanian Nasional.
Langkah Yusuf Menembus Batas
SMK Samudera ialah yayasan pendidikan yang menggratiskan biaya sekolah bagi anak-anak prasejahtera. Kebetulan, murid SMK Samudera banyak yang berasal dari daerah jauh dan terpencil, merantau ke Kota Bandar Lampung dan daerah penyangganya, Natar, Lampung Selatan.
Mereka tidak menyewa kamar indekos, tetapi menjalin persaudaraan di Panti Asuhan Penghafal Qur’an As-Salam, Natar, Lampung Selatan. Salah satunya, Yusuf, murid kelas 10 SMK Samudera.
Dia tinggal di desa terpencil dan tergolong tertinggal di perbatasan Kabupaten Tanggamus-Kabupaten Pesawaran. Cimahi nama daerah itu, kata dia. Tempat tinggalnya seperti tidak mengenal sekolah jenjang menengah atas, karena di sana hanya ada Madrasah Ibtidaiyah, itu pun cukup jauh.
Untuk bisa bersekolah di jenjang pendidikan SMP–SMA/SMK sederajat, Yusuf mengaku harus menempuh waktu 2 jam—3 jam perjalanan yang cukup melelahkan. Bukan hanya karena jarak tempuh, akses jalan yang masih tanah merah dan berlumpur ketika hujan mengguyur sehari semalam. Ya, barangkali, kendati berpelangi, tetapi pelangi itu tidak cukup mewarnai tempat tinggalnya karena minim akses pendidikan, sehingga ia harus jauh merajut tali persaudaraan demi masa depan.
Jarang ada kawan-kawannya yang berpendidikan sampai jenjang menengah atas. Alasan pertama, karena pemuda dan pemudi di sana terbiasa dalam keadaan cakrawala terbatas dan alasan kedua sebab orang tua mereka enggan jauh dari anaknya.
Kondisi inilah yang kemudian membuat desa atau dusun tersebut perlahan-lahan kehilangan warganya. Yusuf mengaku sekarang hanya ada 30 keluarga yang bermukim di sana dan semua pemudanya telah merantau berbekal ijazah MI, entah menjadi apa, tanpa harapan menembus IPDN, Akmil, atau sebatas Tamtama maupun Bintara.
Yusuf tidak pernah kecewa dengan keadaan. Itulah mengapa ia memilih jauh meninggalkan kakek dan neneknya di kampung halaman. Ibunya telah meninggal sejak ia kecil dan belum mengerti apa pun, dan sekarang ini, ia hanya memiliki ayah sebagai orang tua kandung.
Yusuf adalah saksi dari kejadian ngeri yang dialami ayahnya, yakni masuk jurang hingga tangannya cedera akibat jalan tanah yang licin, sementara jurang menganga di sisi jalan.
“Pernah bapak saya jatuh ke dalam jurang, tangannya sampai gimana gitu ya. Ya itu, jalannya kecil, tanah terus licin. Waktu itu bapak saya lagi ngangkut hasil kebun,” ungkapnya, Selasa (12/8/2025), di sela-sela perlombaan yang terlaksana di Stadion Mini Kalpataru, Kemiling.
Hasil kebun warga di sana tidak cukup untuk makan dalam jangka waktu lama. Untuk sekadar membeli beras, mereka sulit membeli satu karung sebagai stok pangan. Satu atau dua kilogram, itulah yang bisa mereka beli dari hasil kebun. Itu pun tidak mudah. Kadang hanya makan ala kadarnya dari hasil lahan sekitar. Geram, maka ia memilih tidak tinggal diam.
Yusuf geram dengan pemangku kebijakan desa maupun dusun. Menurut keterangannya, kepala desa memiliki rumah yang cukup ideal serta kendaraan pribadi yang terbilang mewah, tetapi kampungnya terpencil dan tertinggal hingga menyaksikan orang tuanya tersungkur ke dalam jurang.
Yusuf, jadilah tangguh dan selalu berpikir dalam dan luas layaknya samudera.***














