MAJALAH NARASI– Tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) menjadi catatan hitam yang tidak bisa dihapus dari sejarah Indonesia. Peristiwa itu bukan hanya menelan korban tujuh jenderal terbaik bangsa, tetapi juga menyisakan trauma mendalam yang diwariskan lintas generasi. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu menjadi bukti betapa rapuhnya persatuan bangsa ketika ideologi menyimpang menyusup ke tubuh negara.
Dibubarkannya PKI dan ditetapkannya larangan terhadap ideologi komunis pada era Orde Baru menjadi langkah tegas demi memastikan tragedi serupa tidak terulang kembali. Namun, meski sudah hampir enam dekade berlalu, perdebatan seputar G30S/PKI terus hidup. Bagi sebagian pihak, tragedi itu diyakini tidak lepas dari campur tangan asing yang ingin melemahkan kekuasaan Presiden Sukarno. Fakta-fakta yang masih menjadi misteri inilah yang menjadikan peristiwa 1965 tetap relevan dibicarakan hingga kini.
Bahaya laten komunisme menjadi kekhawatiran abadi. Ideologi ini tidak hanya dianggap bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga berpotensi menghancurkan fondasi bangsa jika dibiarkan berkembang kembali. Dalam konteks pemerintahan saat ini, refleksi sejarah G30S/PKI mendapat momentum baru, terlebih setelah munculnya kegelisahan publik dalam “Agustus Kelam 2025”. Peristiwa itu menandai rentetan gejolak politik yang mengguncang awal masa pemerintahan Presiden Prabowo, menimbulkan pertanyaan serius: apakah Indonesia benar-benar belajar dari sejarah?
Situasi ini semakin mengkhawatirkan karena beberapa tokoh dengan latar belakang kontroversial, bahkan yang pernah terhubung dengan kelompok terlarang di masa lalu, kini menempati posisi strategis di pemerintahan dan BUMN. Publik pun mulai melontarkan kritik: apakah negara sedang mencoba membuka pintu bagi kompromi yang berisiko mengulang kesalahan masa lalu? Jika tidak hati-hati, semangat persatuan yang ingin dibangun Presiden Prabowo bisa berubah menjadi bumerang.
Bangsa ini harus menyadari bahwa setiap celah yang terbuka dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak dengan agenda tertentu, baik dari dalam maupun luar negeri. Infiltrasi ideologi asing adalah ancaman nyata, terlebih ketika generasi muda cenderung kurang akrab dengan sejarah kelam bangsanya sendiri. Jika tidak ada pendidikan sejarah yang kuat, generasi penerus bisa saja menjadi sasaran propaganda yang merusak.
Karena itu, Pancasila harus ditempatkan sebagai pondasi utama, bukan sekadar jargon politik. Pemerintah harus memastikan setiap kebijakan berpihak pada rakyat, tidak ditunggangi kepentingan pragmatis atau agenda asing. Kesetiaan pada Pancasila adalah benteng yang akan menjaga bangsa ini dari pengaruh ideologi lain yang ingin merongrong kedaulatan negara.
Refleksi atas G30S/PKI bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun kewaspadaan di masa depan. Tragedi 1965 adalah pengingat bahwa bangsa ini hanya bisa bertahan jika setia pada jati diri dan tidak mudah tergoda oleh ideologi lain yang menjanjikan utopia semu. Pemerintahan Prabowo memiliki tugas berat: merangkul semua anak bangsa secara adil, menjaga kedaulatan, dan memastikan tidak ada lagi ruang bagi pengkhianatan.***
 
	    	 
                                






 
							






