MAJALAH NARASI – Sebuah karya sastra kontroversial kembali mencuri perhatian publik. Penyair muda asal Bandar Lampung, Alfariezie, mengguncang jagat literasi dan politik lokal lewat tulisan satir berjudul “Tangis Sekolah Hantu Wali Kota”. Karya ini bukan sekadar puisi, melainkan jeritan protes yang dikemas dengan simbol alegori, menyindir keras praktik penyelenggaraan sekolah ilegal yang diduga justru difasilitasi pemerintah kota.
Lewat gaya bahasa yang liar, brutal, dan penuh metafora, Alfariezie menghadirkan potret suram tentang nasib anak-anak yang terjebak dalam sistem pendidikan tanpa izin resmi. Mereka terancam kehilangan masa depan, karena ijazah yang tak sah bisa berubah menjadi bumerang.
Isi puisinya begitu menghentak: ada kepala sekolah yang digambarkan seperti “babi hutan”, pejabat yang diibaratkan “buaya terjerat”, hingga murid yang dikhawatirkan menjadi “kambing hitam calon narapidana”. Simbolisasi hewan buas itu menjadi metafor kekuasaan rakus dan tak terkendali, mempertegas bagaimana praktik ilegal ini mengorbankan generasi muda.
Tema besar dari karya ini adalah kegelisahan terhadap sekolah liar yang tetap menerima alokasi dana negara meski belum berizin. Kritik diarahkan langsung kepada Wali Kota Bandar Lampung sebagai tokoh yang dianggap melegalkan kebijakan penuh paradoks. Pesannya jelas: pendidikan tidak boleh dijadikan proyek politik yang mengorbankan masa depan anak-anak.
Struktur puisinya unik, meski berbentuk prosa ia disusun dengan pemenggalan baris khas puisi bebas. Seruan emosional seperti “Bahaya!” ditempatkan strategis, membuat pembaca seolah mendengar alarm peringatan atas kondisi pendidikan yang carut-marut. Estetika inilah yang memberi nuansa agitasi, menghadirkan kesan manifesto perlawanan.
Nilai estetik dari karya ini lahir dari keberanian menyatukan fakta sosial dengan imajinasi sastra. Alfariezie tidak menyebut nama sekolah atau pejabat tertentu, namun memilih menyampaikan kritik melalui alegori dan simbol. Cara ini membuat tulisannya terasa universal sekaligus tajam, seolah menantang siapa saja yang terlibat dalam praktik serupa.
Relevansinya pun sangat kuat. Di tengah maraknya isu pendidikan ilegal dan dugaan penyalahgunaan anggaran, karya ini menjadi alarm sosial. “Sekolah hantu” dalam puisi menjadi metafora atas lembaga pendidikan tanpa fondasi kuat, tetapi dijadikan komoditas politik. Inilah yang membuat publik tersentak: apakah anak-anak sedang dipertaruhkan demi kepentingan segelintir elit?
Secara keseluruhan, “Tangis Sekolah Hantu Wali Kota” adalah karya satir politik yang berani. Ia menggabungkan seni dengan jurnalisme protes, menghidupkan kritik sosial lewat metafora yang keras, liar, namun estetik. Meski begitu, ada risiko pesan utama samar bagi pembaca awam yang tidak terbiasa dengan bahasa alegoris. Namun justru di situlah daya tariknya: memancing tafsir, memicu debat, dan menggugah kesadaran publik.***
 
	    	 
                                






 
							






