MAJALAH NARASI— Kontroversi seputar kasus PT Lampung Energi Berjaya (LEB) belum juga mereda. Sejak 22 September 2025, Komisaris dan dua direksi PT LEB ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait dana Participating Interest (PI) 10%. Namun, penetapan tersangka ini memunculkan polemik serius terkait bukti kerugian negara yang sejauh ini belum bisa dipastikan publik.
Permohonan sidang praperadilan yang diajukan oleh Dirut PT LEB, M. Hermawan Eriadi, menjadi titik panas baru. Dalam sidang yang digelar sejak Jumat, 28 November hingga Kamis, 4 Desember 2025, kuasa hukum Hermawan menegaskan bahwa alat bukti kerugian negara yang diajukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung masih parsial dan tidak lengkap.
“Ketika kami mencoba menelaah alat bukti, berkas yang ditampilkan justru lompat-lompat. Dari halaman 1 ke halaman 11, terus ke halaman 108-109, lalu lompat lagi ke halaman 116. Ini bikin pembuktian jadi tidak utuh,” ujar kuasa hukum pasca-persidangan sekitar pukul 10.45 WIB.
Dalam sidang hari keempat, Rabu, 3 Desember 2025, saksi ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhyar Salmi, juga menekankan hal serupa. Menurutnya, satu alat bukti yang tidak lengkap membuat seluruh dasar penetapan tersangka menjadi tidak sah. “Satu alat bukti harus bulat dan menyeluruh. Kalau belum sempurna, maka penetapan tersangka secara hukum bisa dipertanyakan,” jelas Akhyar di hadapan hakim tunggal Muhammad Hibrian.
Selain itu, Kejati Lampung dinilai tidak kooperatif karena tidak menghadirkan saksi ahli seperti yang diminta hakim. Pihak Kejati hanya menyebut masih akan berkoordinasi dan tetap konsisten dengan sikapnya, sehingga kontroversi mengenai dugaan kerugian negara tetap menjadi tanda tanya besar.
Publik pun dibuat menunggu jawaban resmi dari Kejati Lampung. Saat jurnalis mencoba meminta klarifikasi usai sidang, perwakilan Kejati bernama Zahri hanya menyarankan agar wawancara dilakukan melalui Penkum. Sampai menjelang putusan sidang praperadilan, Kejati Lampung belum memberikan keterangan resmi mengenai detail kerugian negara maupun dasar penetapan tersangka.
Kontroversi ini menimbulkan kekhawatiran lebih luas, terutama soal transparansi dan kejelasan prosedur hukum dalam penanganan kasus yang melibatkan perusahaan BUMD dan anak usaha milik negara. Banyak pihak menilai bahwa proses hukum yang tidak transparan dapat menimbulkan preseden negatif dan memengaruhi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di sektor migas.
Sementara itu, publik terus menyoroti perbedaan narasi antara Kejati Lampung yang menyatakan adanya kerugian negara dan bukti-bukti yang ditampilkan selama persidangan yang masih terfragmentasi. Sidang praperadilan PT LEB menjadi salah satu sorotan utama, tidak hanya bagi dunia hukum, tetapi juga bagi investor dan pemangku kepentingan BUMD di Indonesia yang memantau kepastian hukum terkait pengelolaan dana PI 10%.
Dengan putusan praperadilan yang dijadwalkan pada Senin, 8 Desember 2025, masyarakat dan pengamat hukum menunggu apakah Kejati Lampung mampu menghadirkan bukti yang lengkap dan transparan atau justru memperkuat keraguan tentang legalitas penetapan tersangka dalam kasus ini. Sidang ini berpotensi menjadi momen krusial untuk menentukan arah tata kelola hukum dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di sektor migas nasional.***














