MAJALAH NARASI— Publik Kota Bandar Lampung kembali digemparkan oleh kasus bullying yang menimpa seorang remaja putri bernama Gina, asal Kabupaten Pesawaran. Kasus ini terkuak pada Rabu, 22 Oktober 2025, dan menyedot perhatian banyak pihak lantaran memengaruhi masa depan Gina yang harus putus sekolah dan kembali mengikuti jejak orang tuanya menjadi pemulung karena tekanan dan cercaan teman sebaya di SMP Negeri 13 Bandar Lampung.
Gina, yang berasal dari keluarga pekerja keras dengan penghasilan rendah, mengaku mengalami perlakuan bullying sejak kelas 8. “Dibully pas kelas 8. Ngelanjut sih mau, tapi…” ujarnya dengan suara pilu, menahan tangis saat didampingi Putri Maya Rumanti, Tim Pengacara Hotman Paris sekaligus kuasa hukum Gina. Tekanan psikologis dari bullying membuat Gina merasa tak mampu bertahan di lingkungan sekolah, meski hasratnya untuk belajar tetap ada.
Sang ibu, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sebagai pengais barang bekas, menyampaikan harapannya agar anaknya dapat kembali bersekolah. “Kalau bisa bantu-bantu, supaya anakku bisa sekolah. Orang tuanya enggak bisa baca tulis, masak akanya juga jadi begini: tukang rongsok juga,” ungkapnya dengan nada sedih, Rabu, 21 Oktober 2025. Ucapan ini menegaskan bahwa keluarga Gina berharap ada intervensi cepat dari pihak berwenang maupun masyarakat untuk menyelamatkan pendidikan putrinya.
Putri Maya Rumanti menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar masalah individu, tetapi mencerminkan persoalan sistemik yang ada di Kota Bandar Lampung. “Kasus Bullying Gina merupakan tamparan pejabat Lampung. Mau kota, gubernur, dinas, dan DPRD, buka mata dan hati kalian. Coba turun ke lapangan. Banyak orang yang butuh bantuan,” tegasnya, menyerukan perhatian serius dari pemerintah daerah terkait perlindungan anak dan pendidikan bagi warga kurang mampu.
Sementara itu, pihak SMP Negeri 13 Bandar Lampung melalui Kepala Sekolah, menyatakan komitmennya untuk mendukung Gina agar bisa melanjutkan pendidikan. “Saya berharap Gina tetap sekolah, bahkan saya akan membantu walaupun dia belajar melalui program paket. Kami seluruh sivitas akademika berharap Gina memiliki masa depan yang lebih baik,” ujar Kepala Sekolah, Selasa, 21 Oktober 2025. Pernyataan ini menunjukkan adanya upaya sekolah untuk menciptakan jalur pendidikan alternatif dan memberikan dukungan psikologis bagi korban bullying.
Kasus ini juga membuka diskusi lebih luas mengenai perlunya program anti-bullying yang efektif di sekolah, sistem pendampingan bagi siswa dari keluarga kurang mampu, serta pengawasan yang ketat terhadap interaksi sosial di lingkungan pendidikan. Pakar pendidikan menyarankan agar sekolah, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat bersinergi dalam membangun ekosistem belajar yang aman dan inklusif, agar tidak ada siswa yang terpaksa menghentikan pendidikannya akibat tekanan teman sebaya atau faktor ekonomi.
Kasus Gina menjadi pengingat bahwa bullying tidak hanya menghancurkan mental dan psikologis korban, tetapi juga berpotensi mengancam masa depan mereka. Dukungan dari keluarga, sekolah, pengacara, serta pemerintah menjadi krusial untuk memastikan hak pendidikan setiap anak tetap terjaga, khususnya bagi anak-anak dari keluarga ekonomi lemah yang membutuhkan perhatian lebih.***
 
	    	 
                                






 
							






