MAJALAH NARASI– Suasana penuh khidmat dan kemegahan terasa di Nuwo Balai Agung Rajo Negeri, Desa Cahaya Negeri, Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara, Sabtu malam (18/10/2025). Ribuan masyarakat tumpah ruah menyaksikan perhelatan Begawi Agung, sebuah tradisi adat yang menjadi kebanggaan masyarakat Lampung.
Acara tersebut dihadiri langsung oleh Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal, yang dalam sambutannya menyerukan pentingnya menjaga dan melestarikan adat serta budaya Lampung di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.
“Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi,” ujar Gubernur Mirza lantang, disambut tepuk tangan masyarakat yang memadati lokasi acara. Ia menegaskan bahwa adat dan budaya bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan sumber identitas dan jati diri yang membentuk karakter bangsa.
Menurut Mirza, perayaan Begawi Agung bukan hanya kegiatan seremonial, melainkan manifestasi nilai-nilai luhur leluhur yang harus terus diwariskan. Di dalam setiap tahapannya, terkandung pesan kebersamaan, pengorbanan, dan gotong royong — nilai yang kini semakin langka di tengah individualisme modern.
“Begawi Agung mencerminkan semangat Lampung yang beradab dan berperadaban tinggi. Pelestarian budaya ini adalah bentuk tanggung jawab moral kita sebagai pewaris sejarah,” kata Gubernur.
Ia juga mengapresiasi para penyimbang adat, khususnya tuan rumah Suttan Rajo Negeri, Aneg Cahayo Negeri Buay Nunyai, atas dedikasi dan semangat dalam menjaga warisan budaya. Menurutnya, kegiatan seperti ini menjadi wadah penting untuk menanamkan kembali nilai-nilai budaya kepada generasi muda agar tidak tercerabut dari akar tradisi.
Dalam kesempatan itu, Mirza juga menyinggung tentang kekayaan budaya Lampung yang tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia. Salah satunya adalah Aksara Lampung, yang menjadi bukti nyata tingginya tingkat peradaban masyarakat Lampung sejak zaman dahulu. Dari ratusan suku bangsa di Indonesia, hanya tujuh yang memiliki aksara sendiri, dan Lampung termasuk di antaranya.
“Ini bukti bahwa Lampung memiliki sejarah dan identitas kuat. Aksara, bahasa, dan tradisi adalah warisan tak ternilai yang harus terus kita hidupkan,” ujarnya.
Gubernur menambahkan, Pemerintah Provinsi Lampung kini tengah gencar memperkuat upaya pelestarian budaya melalui berbagai program, salah satunya Program Kamis Beradat atau Kamis Berbahasa Lampung. Program ini mewajibkan aparatur sipil negara, pelajar, dan mahasiswa di seluruh provinsi untuk menggunakan bahasa Lampung setiap hari Kamis.
“Langkah ini menjadi bentuk konkret pemerintah dalam menjaga eksistensi bahasa daerah. Bahasa adalah cermin budaya, dan jika bahasanya hilang, maka identitas juga akan memudar,” tegasnya.
Mirza menilai bahwa adat dan budaya tidak hanya menjadi kebanggaan daerah, tetapi juga modal penting dalam membangun karakter masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam adat seperti rasa hormat, musyawarah, dan kebersamaan dapat menjadi fondasi moral dalam menghadapi era digital dan globalisasi yang penuh tantangan.
“Adat bukan penghalang kemajuan, justru menjadi landasan agar kita tidak kehilangan arah dalam pembangunan. Budaya memperkuat karakter, memperkaya identitas, dan mempererat persaudaraan antarwarga,” jelasnya.
Sebagai bentuk penghargaan atas komitmen melestarikan budaya daerah, Gubernur Lampung menyerahkan piagam penghargaan kepada Suttan Rajo Negeri, Aneg Cahayo Negeri Buay Nunyai, atas kontribusinya dalam perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan di Provinsi Lampung.
Malam Begawi Agung itu pun ditutup dengan pertunjukan tari adat, iringan musik tradisional, serta penyalaan api obor yang melambangkan semangat pelestarian budaya yang tidak pernah padam. Di bawah cahaya bulan dan gemerlap lampu tradisional, masyarakat Lampung Utara kembali meneguhkan jati diri mereka sebagai pewaris budaya besar yang tetap kokoh di tengah gempuran zaman.***
