MAJALAH NARASI- Polemik terkait perubahan zona inti Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung Timur menyeruak dan memantik reaksi beragam. Almuheri Ali Paksi, pemerhati lingkungan dari Jaringan Konservasi Ekosistem Lampung, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap berpotensi merusak kawasan konservasi.
Ia menuding bahwa pemerintah telah mengubah zona inti TNWK menjadi zona pemanfaatan secara besar-besaran, bahkan mencapai 70 persen dari luas total kawasan. Menurutnya, langkah ini adalah bentuk “legalisasi” pemusnahan kawasan konservasi yang sangat vital bagi ekosistem Lampung.
Tudingan semakin panas saat ia mengungkap data yang menurutnya menunjukkan penyusutan zona inti yang sangat signifikan. Dari sekitar 59 ribu hektare pada 2020, zona inti disebut kini hanya tersisa sekitar 27 ribu hektare pada 2025. Ia juga menuding hilangnya 30-an ribu hektare itu berkaitan dengan dugaan penjualan lahan kepada negara adidaya karena adanya kandungan logam dan mineral di dalamnya.
Dalam pernyataannya, Almuheri menambahkan bahwa penyusutan zona inti memicu gangguan satwa liar hingga masuk ke permukiman warga. Ia meminta publik dan lembaga konservasi di Lampung untuk menyelidiki lebih jauh arah kebijakan TNWK.
KLHK Membantah Keras: Tidak Ada Tambang, Tidak Ada Penjualan Kawasan, Tidak Ada Penebangan
Tudingan tersebut langsung ditanggapi tegas oleh Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup. Ahmad Munawir, pejabat yang menangani kebijakan zonasi konservasi, menyebut bahwa seluruh tuduhan itu salah dan tidak berdasar.
Ia menjelaskan bahwa perubahan zona bukan untuk kepentingan wisata, penambangan, ataupun pemanfaatan mineral. Menurutnya, pemerintah justru sedang menjalankan amanah UU 32/2024 yang memungkinkan pemanfaatan karbon di kawasan konservasi melalui zona pemanfaatan yang tetap diawasi dengan ketat.
Munawir menekankan bahwa pemanfaatan karbon tidak memperbolehkan penebangan pohon. Sebaliknya, skema ini justru menuntut perlindungan hutan yang masih baik dan rehabilitasi pada area yang rusak. Beberapa negara lain seperti Madagaskar dan Guatemala juga telah menerapkan konsep serupa untuk mengurangi emisi dan deforestasi.
Ia menampik keras dugaan bahwa ada penjualan lahan kepada pihak asing. Menurutnya, kawasan konservasi tidak mungkin dijual karena merupakan aset negara. Kalaupun terdapat kerja sama bisnis, itu berbentuk izin pemanfaatan karbon oleh badan usaha yang terdaftar resmi, bukan transaksi lahan.
Balai TNWK: Pengurangan Zona Inti Akibat Kebakaran, Bukan Transaksi Lahan
Kepala Balai TNWK, Zaidi, turut memberikan klarifikasi mengenai penyusutan zona inti kawasan tersebut. Ia menjelaskan bahwa berkurangnya luas zona inti disebabkan oleh kebakaran hutan kawasan yang terjadi hampir setiap tahun. Kondisi ini, ditambah minimnya anggaran konservasi, membuat rehabilitasi berjalan lambat.
Balai TNWK telah menggandeng beberapa mitra, namun kapasitas pengelolaan dan dukungan anggaran masih belum sebanding dengan skala kerusakan. Oleh karena itu, skema pemanfaatan karbon dianggap sebagai langkah strategis untuk menarik investasi konservasi.
Zaidi mengungkap bahwa sekitar 33 ribu hektare kawasan TNWK sedang disiapkan untuk proyek pemanfaatan karbon pertama di Lampung. Jika berhasil, model ini akan menjadi contoh nasional untuk pengelolaan konservasi berbasis karbon.
Ia menegaskan bahwa seluruh kebijakan diarahkan untuk memperkuat perlindungan kawasan, memperbaiki lahan rusak, dan memastikan keberlanjutan ekosistem jangka panjang.***









