MAJALAH NARASI- Kabupaten Lampung Tengah tengah memasuki fase paling krusial dalam satu dekade terakhir. Setelah rangkaian kasus korupsi yang mengguncang struktur pemerintahan, publik kini menyoroti satu nama yang dianggap sebagai tumpuan baru: Komang Koheri. Pengusaha beras berdarah Bali ini, yang kini menjabat sebagai Wakil Bupati Lampung Tengah, menghadapi ujian besar terkait stabilitas layanan publik, keberlanjutan pembangunan, hingga pemerataan ekonomi di tengah badai krisis struktural yang belum mereda.
Di antara pejabat tinggi Lampung Tengah, Komang Koheri menjadi figur yang tampak masih terjaga dari skandal hukum. Dengan latar belakang pendidikan ekonomi dan pengalaman panjang mengelola bisnis beras, ia dipandang memiliki pemahaman praktis mengenai rantai pasok pangan, manajemen organisasi, hingga ketahanan ekonomi daerah. Namun pertanyaannya, apakah kapasitas ini cukup untuk menjaga roda pemerintahan tetap berjalan stabil di saat Lampung Tengah sedang berada di titik terlemah?
Kondisi ini menjadi semakin pelik setelah Bupati Ardito Wijaya resmi ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK. Ardito ditangkap dalam operasi tangkap tangan yang mengejutkan publik dari 9 hingga 11 Desember. Ia diduga menerima gratifikasi fee proyek yang digunakan untuk membayar utang kampanye Pilkada 2024. Penetapan tersangka terhadap Ardito otomatis membuat fokus pemerintahan terganggu, sekaligus menambah catatan panjang kepala daerah Lampung Tengah yang terjerat kasus rasuah.
Bukan hanya itu, Sekretaris Daerah Lampung Tengah, Welly, juga terseret dalam persoalan hukum. Ia diperiksa Ditreskrimsus Polda Lampung terkait dugaan keterlibatannya mengetahui proses rekrutmen 387 tenaga honorer di Kota Metro, yang dianggap melanggar UU No. 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Meski masih dalam tahap pemeriksaan, kasus hukum yang menjerat Welly berpotensi menggerus konsentrasinya dalam menjalankan roda birokrasi daerah.
Dalam situasi seperti ini, postur kepemimpinan di Lampung Tengah menjadi timpang. Posisi bupati tidak berfungsi optimal karena terjerat proses hukum, sementara Sekda menghadapi tekanan penyelidikan. Praktis, Komang Koheri menjadi satu-satunya tokoh pucuk pimpinan yang relatif bebas dari kasus, sekaligus memikul beban paling berat untuk memastikan pemerintahan tetap stabil.
Komang yang memulai karier dari dunia usaha bukanlah sosok yang asing bagi masyarakat. Ia dikenal sebagai pengusaha beras yang sukses, memahami dinamika pertanian dan perdagangan—dua sektor vital bagi ekonomi Lampung Tengah. Kader PDI Perjuangan ini juga dinilai cukup dekat dengan akar rumput. Meski demikian, dunia birokrasi yang penuh intrik dan jaringan kepentingan tentu menghadirkan tantangan berbeda. Dalam kondisi darurat integritas seperti sekarang, kemampuan Komang untuk menjaga jarak dari pusaran korupsi akan menjadi sorotan utama.
Lampung Tengah sendiri bukan daerah yang asing dengan skandal. Tiga bupati terdahulu—Andi Achmad Sampurna Jaya, Mustafa, dan Ardito Wijaya—jatuh karena kasus korupsi. Polanya serupa: penyalahgunaan kewenangan, permainan proyek, serta gratifikasi yang mengakar dari pejabat hingga kontraktor. Dengan sejarah kelam seperti ini, publik wajar mempertanyakan apakah Komang mampu memutus lingkaran setan yang selama ini menggerogoti pemerintahan daerah.
Tantangan yang dihadapi Komang bukan hanya soal membenahi internal pemerintahan, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik, menjaga layanan publik tetap berjalan, memastikan pembangunan tidak mandek, serta menahan laju ketimpangan ekonomi yang berpotensi melebar akibat instabilitas politik.
Masyarakat Lampung Tengah kini menaruh harapan sekaligus kewaspadaan. Mampukah Komang Koheri menjadi figur yang sanggup mengawal transisi pemerintahan di tengah badai korupsi yang tak kunjung reda? Atau akankah sejarah gelap kepemimpinan Lampung Tengah kembali terulang?***














