MAJALAH NARASI— Perdebatan mengenai kewajiban pemeriksaan calon tersangka kembali mencuat setelah sidang pra peradilan PT LEB yang digelar secara maraton di Pengadilan Negeri Tanjungkarang dari 28 November hingga 4 Desember 2025. Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyangkut hak konstitusional individu dan prosedur hukum yang sering menjadi perdebatan di Indonesia.
Kuasa hukum M. Hermawan Eriadi, Direktur Utama PT LEB, Riki Martim, menegaskan bahwa penetapan tersangka tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan pelanggaran prosedural yang serius. “Pemeriksaan calon tersangka bukan sekadar formalitas. Ini adalah prosedur wajib yang melindungi hak konstitusional,” ujar Riki. Ia menambahkan, tindakan Kejaksaan yang langsung menetapkan kliennya sebagai tersangka tanpa memberi kesempatan klarifikasi berpotensi menimbulkan keputusan sepihak yang merugikan individu.
Sidang dipimpin oleh hakim tunggal Muhammad Hibrian, dengan agenda terakhir putusan dijadwalkan pada Senin, 8 Desember 2025. Selama persidangan, liputan media intensif ikut memicu perdebatan publik, khususnya mengenai apakah pemeriksaan calon tersangka memang diwajibkan oleh hukum atau hanya bersifat opsional.
Argumen Kejaksaan: Bukan Kewajiban Formal
Kejaksaan bersikukuh bahwa pemeriksaan calon tersangka bukan kewajiban hukum yang diatur dalam KUHAP. “Istilah calon tersangka tidak dikenal dalam KUHAP. Yang ada hanyalah pemeriksaan saksi dan tersangka,” jelas Jaksa Rudy setelah persidangan. Rudy menekankan bahwa Hermawan sudah diperiksa beberapa kali sebagai saksi, sehingga status “calon tersangka” dianggap setara dengan saksi.
Kejaksaan juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 mengenai “bukti permulaan yang cukup.” Menurut Rudy, penyebutan pemeriksaan calon tersangka hanya muncul di bagian pertimbangan, bukan di amar putusan, sehingga tidak bersifat mengikat. “Pertimbangan MK bukan norma hukum yang dapat langsung dijadikan dasar tindakan penyidik,” tambah Rudy, menekankan bahwa instrumen pelaksana setingkat undang-undang dibutuhkan untuk mengikatnya.
Tanggapan Kuasa Hukum: Hak Konstitusional Tidak Bisa Diabaikan
Riki Martim menanggapi argumen Kejaksaan dengan tegas. Menurutnya, meskipun disebut di bagian pertimbangan, ratio decidendi atau inti pertimbangan MK tetap mengikat secara hukum. “Putusan MK jelas menyatakan bahwa minimal dua alat bukti harus disertai pemeriksaan calon tersangka agar hak konstitusional terlindungi. Ini bukan sekadar pendapat sampingan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa tanpa pemeriksaan calon tersangka, penyidik dapat bertindak sepihak. “Status tersangka berdampak serius pada kedudukan, harkat, dan martabat seseorang. Sejak Oktober 2024, klien kami tidak pernah dipanggil untuk mengetahui dugaan perbuatan melawan hukum, perhitungan kerugian negara, maupun alat bukti yang digunakan. Ini jelas pelanggaran asas due process of law,” ujar Riki.
Pemeriksaan Calon Tersangka sebagai Mekanisme Perlindungan HAM
Ahli Administrasi Negara Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Simatupang, yang hadir sebagai saksi ahli, menekankan bahwa pemeriksaan calon tersangka adalah mekanisme penting untuk melindungi hak konstitusional. “Ini memastikan seseorang memiliki kesempatan menjelaskan posisi dan kewenangannya sebelum diberi stigma tersangka, terutama dalam kasus korporasi, di mana kewenangan pribadi dan kewenangan perusahaan perlu dipisahkan,” katanya.
Ahli pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, juga menegaskan bahwa meski putusan MK berada di bagian pertimbangan, hal itu justru menjadi inti norma hukum yang harus dihormati. “Pemeriksaan calon tersangka adalah alat kendali agar penyidik tidak menetapkan seseorang tersangka tanpa transparansi. Ini bagian dari prinsip audi et alteram partem, memberi kesempatan pihak yang dituduh untuk menyampaikan klarifikasi,” jelasnya.
Akhiar menambahkan contoh keputusan pra peradilan di Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 10/Pod.Pra/2024/PNB) yang membatalkan penetapan tersangka Pegi Setiawan karena tidak didahului pemeriksaan calon tersangka. Hakim menekankan bahwa langkah ini penting untuk menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan prinsip peradilan yang adil.
Menjaga Keadilan dalam Kasus Korupsi
Riki Martim menekankan bahwa pemeriksaan calon tersangka juga penting untuk mencegah penyalahgunaan prosedur dalam kasus korupsi, yang sering menghadirkan ketidakjelasan antara kewenangan pribadi dan publik. “Argumentasi Kejaksaan yang menekankan pemberantasan kejahatan luar biasa tidak bisa menghapus kewajiban menghormati hak dasar seseorang. Korupsi memang kejahatan luar biasa, tetapi hak untuk mengetahui tuduhan, hak untuk memberi klarifikasi, dan hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang tetap harus dijaga,” ujarnya.
Hingga saat ini, Jaksa belum menjelaskan secara rinci perbuatan yang disangkakan kepada Hermawan, alat bukti yang digunakan, maupun estimasi kerugian negara. “Ini fakta persidangan yang tidak terbantahkan. Bagaimana bisa dikatakan tidak sewenang-wenang jika hak dasar klien kami diabaikan?” ujar Riki menegaskan.
Persidangan pra peradilan PT LEB membuka perdebatan penting antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi individu. Putusan yang dijadwalkan pada 8 Desember 2025 diperkirakan akan menjadi preseden penting dalam praktik hukum pidana korporasi di Indonesia, serta memberi arah bagi bagaimana prinsip due process diterapkan dalam kasus-kasus yang melibatkan status tersangka.***














