MAJALAH NARASI- SMA Siger Bandar Lampung kini menjadi pusat perhatian publik. Sekolah yang baru berdiri itu diduga menjadi ajang konflik kepentingan antara pejabat Pemkot Bandar Lampung dengan pengelolaan aset negara. Di balik niat mulia menyediakan pendidikan gratis untuk warga pra sejahtera, justru muncul dugaan bahwa sekolah ini beroperasi dengan penyalahgunaan kewenangan dan aset pemerintah yang tidak transparan.
Awal mula polemik bermula saat sejumlah pejabat mengklaim SMA Siger sebagai sekolah milik Pemkot. Namun, fakta hukum menunjukkan lembaga itu berada di bawah Yayasan Siger Prakarsa Bunda, bukan di bawah naungan pemerintah. Dalam akta notaris tertanggal 31 Juli 2025, nama-nama pejabat aktif Pemkot tercatat sebagai pendiri, di antaranya Eka Afriana (Plt Kadisdikbud dan Asisten Pemkot), Dr. Khaidarmansyah (eks Sekda dan eks Kepala Bappeda), serta Satria Utama (Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud). Hal ini memunculkan dugaan kuat adanya konflik kepentingan di antara pengelola yayasan dengan kebijakan pemerintah daerah.
Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, sebelumnya sempat menegaskan bahwa seluruh biaya pendidikan di SMA Siger ditanggung Pemkot. Ia bahkan memfasilitasi penggunaan gedung milik SMP Negeri 38 dan 44 untuk kegiatan belajar mengajar SMA Siger. Namun, klaim tersebut dipatahkan oleh temuan di lapangan. Para siswa mengaku masih harus membeli modul pembelajaran seharga Rp15.000 per mata pelajaran. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar—apakah “gratis” benar-benar gratis, atau sekadar jargon politik yang menipu publik.
Sekjend Laskar Lampung, Panji Padang Ratu, mengkritik keras praktik tersebut. Ia menilai ada pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan berpotensi merugikan keuangan negara. “Dokumen AHU Kemenkumham jelas menunjukkan bahwa yayasan tersebut milik pribadi, bukan Pemkot. Kalau pejabat aktif di Disdikbud ikut mendirikan yayasan itu dan memakai aset pemerintah, itu sudah termasuk konflik kepentingan,” ujarnya, Selasa, 11 November 2025.
Panji juga menyoroti potensi penyalahgunaan dana publik dan alih kepemilikan aset negara yang bisa terjadi secara perlahan. “Yang kita khawatirkan, aset Pemkot bisa berubah menjadi milik pribadi para pendiri yayasan. Ini bahaya besar, apalagi sudah ada sejarah hibah Rp60 miliar ke Kejati Lampung yang juga sarat kontroversi. Jangan sampai rakyat Bandar Lampung dirugikan lagi,” tambahnya.
Praktisi hukum Hendri Adriansyah SH, MH menegaskan, penggunaan aset negara tanpa dasar hukum sah melanggar Permendagri Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. “Kalau tidak ada BAST (Berita Acara Serah Terima), maka penggunaannya bisa berindikasi pelanggaran Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 480 KUHP tentang penadahan,” jelasnya. Ia menegaskan, bukan hanya pengurus yayasan, tapi juga pejabat yang memberi izin pinjam pakai tanpa dokumen sah bisa terjerat pidana.
Sementara itu, DPRD Kota Bandar Lampung justru terlihat mendukung keberadaan SMA Siger meski belum memiliki izin resmi dari DPSPTMP dan Disdikbud Provinsi Lampung. Dalam kunjungan ke SMA Siger 3 di SMP Negeri 44 Way Halim pada 23 Juli 2025, empat pimpinan dewan memberi apresiasi atas inisiatif “pendidikan gratis” untuk warga pra sejahtera. Namun, pernyataan mereka memunculkan kritik dari publik yang menilai DPRD telah abai terhadap potensi pelanggaran hukum dan etika.
Lebih jauh, indikasi ketidakteraturan administrasi juga tampak dari tidak adanya bukti resmi pinjam pakai aset negara. Kabid Dikdas Disdikbud, Mulyadi, pernah menyebut adanya izin administrasi, tetapi tak pernah menunjukkan dokumen pendukung. Staf BKAD bahkan menyebut berkas pinjam pakai gedung belum sampai ke pihak mereka hingga pertengahan September 2025.
Kisruh ini akhirnya berujung pada laporan hukum. Penggiat kebijakan publik, Abdullah Sani, telah resmi melaporkan dugaan penyalahgunaan aset negara ini ke Polda Lampung pada 3 November 2025. Laporan diterima oleh Unit 3 Subdit 4 Tipidter dengan menyertakan dokumen akta notaris yayasan yang disusun setelah pendaftaran siswa baru. Publik kini menanti langkah lanjutan aparat penegak hukum untuk menelusuri potensi pelanggaran yang bisa berdampak besar pada tata kelola pendidikan di Bandar Lampung.
Kasus SMA Siger menjadi cermin betapa rapuhnya batas antara kebijakan publik dan kepentingan pribadi. Di tengah harapan besar masyarakat terhadap pendidikan inklusif dan gratis, muncul praktik yang justru bisa menggerus kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Pertanyaannya, beranikah DPRD dan aparat hukum benar-benar menegakkan keadilan dan menuntaskan dugaan konflik kepentingan ini hingga tuntas?***














