MAJALAH NARASI— Publik kembali mempertanyakan sikap kritis DPRD Kota Bandar Lampung dan DPRD Provinsi Lampung terkait dukungan mereka terhadap operasional SMA Swasta Siger yang dimiliki oleh Eka Afriana dan Khaidarmansyah. Dugaan penyalahgunaan fasilitas dan dana pemerintah membuat sekolah ini menjadi sorotan tajam masyarakat dan media.
Berdasarkan dokumen resmi Kementerian Hukum dan HAM RI, SMA Siger bukanlah milik Pemerintah Kota Bandar Lampung. Sekolah ini tercatat dimiliki oleh beberapa individu, yakni Eka Afriana, Khaidarmansyah, Satria Utama, Didi Bianto, dan Suwandi Umar. Salah satu pendiri, Eka Afriana, merupakan saudari kembar Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana, yang dikenal publik dengan julukan “The Killer Policy”.
Menurut laporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dikutip Ketua LSM Trinusa Faqih Fakhrozi, Eka Afriana memiliki total aset kekayaan mencapai 40 miliar rupiah. Meski demikian, publik masih mempertanyakan niat baik penyelenggaraan sekolah ini, mengingat SMA Siger tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan tetap menggunakan fasilitas pemerintah.
Beberapa temuan menguatkan kecurigaan publik. Plt Kadisdikbud Bandar Lampung tercatat terkait laporan pemalsuan identitas di Polda Lampung, sementara sekolah ini kedapatan menjual 15 modul pelajaran kepada peserta didiknya. Padahal, Wali Kota Eva Dwiana menyatakan bahwa Pemerintah Kota menanggung biaya pendidikan sekolah yang dimiliki oleh saudari kembarnya dan mantan stafnya tersebut.
Selain itu, Satria Utama, salah satu pemilik sekaligus Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud Bandar Lampung, dilaporkan belum membayar gaji puluhan guru selama berbulan-bulan, sebagaimana dilansir oleh inlampung.com pada 16 November 2025. Ketidaktransparanan ini menimbulkan skeptisisme publik terhadap niat baik dan profesionalisme pengelolaan SMA Siger.
Situasi semakin rumit karena SMA Siger mendapatkan dukungan legislatif untuk menggunakan aset dan dana pemerintah, meskipun pemiliknya memiliki kekayaan pribadi yang sangat besar. Publik pun mempertanyakan urgensi fundamental dari dukungan tersebut. Apalagi, dukungan ini menimbulkan asumsi negatif bahwa DPRD tidak bersikap adil terhadap sekolah swasta lainnya yang sama sekali tidak menerima fasilitas dari pemerintah dan justru terancam tutup.
DPRD Bandar Lampung dan Lampung kini menjadi sorotan utama. Masyarakat menunggu aksi nyata dari legislatif untuk mengevaluasi dukungan terhadap SMA Siger dan memastikan tidak ada praktik penyalahgunaan aset negara. Sikap kritis DPRD menjadi penting agar kepercayaan publik terhadap pengelolaan pendidikan tetap terjaga dan tidak menimbulkan ketidakadilan bagi sekolah swasta lain.
Kasus SMA Siger menunjukkan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan legislatif menjadi kunci agar sekolah swasta dapat beroperasi sesuai regulasi, tanpa memanfaatkan dana dan aset pemerintah secara tidak proporsional. Publik menuntut DPRD untuk segera menindaklanjuti, melakukan audit independen, dan memastikan setiap kebijakan yang menyangkut pendidikan swasta berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan kelompok tertentu.***














