MAJALAH NARASI — Aroma busuk dugaan mafia hukum semakin menyengat di tubuh Polda Lampung. Kasus pemalsuan identitas yang diduga dilakukan oleh Eka Afriana, mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandarlampung, kembali memicu protes keras hari ini, Kamis (22/10/2025). Gelombang protes jilid II ini digelar oleh Forum Muda Lampung (FML) di depan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), menuntut pengambilalihan kasus dan menyoroti dugaan keterlibatan jaringan mafia hukum yang melindungi pejabat publik.
Kasus ini menjadi sorotan nasional karena dugaan pemalsuan identitas yang dilakukan Eka Afriana. Berdasarkan temuan awal, Eka diduga mengubah tahun kelahirannya dari 1970 menjadi 1973, sehingga tercipta “kembar ajaib” dengan selisih usia hanya tiga tahun dari Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana. Tujuan perubahan identitas ini diduga untuk memenuhi syarat batas usia calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada tahun 2008. Dugaan pemalsuan ini meliputi KTP, akta kelahiran, hingga ijazah.
Ironisnya, meski bukti awal telah terkuak dan dilaporkan ke publik, penanganan kasus di Polda Lampung justru stagnan. Sekretaris Jenderal FML, Iqbal Farochi, menuding adanya intervensi kekuasaan yang membungkam proses hukum. “Ini bukan soal lambat, tapi pembangkangan terang-terangan terhadap keadilan! Kasus sudah terang benderang, dan alasan konyol seperti ‘sering kesurupan’ untuk menutupi perubahan identitas jelas tidak masuk akal. Polda Lampung memilih tidur. Ada apa sebenarnya?” ujarnya dengan nada tegas dan berapi-api.
Iqbal menekankan, stagnasi kasus ini merupakan ancaman serius terhadap integritas institusi Bhayangkara. “Jika Mabes Polri membiarkan ‘mafia kerah putih’ ini bergentayangan dan melindungi pejabat dengan kekuasaan di Lampung, maka integritas Mabes Polri sendiri berada di ambang kehancuran. Kasus Eka Afriana adalah ujian litmus: apakah hukum di negeri ini masih tegak lurus, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Kami menuntut Kabareskrim dan Kapolri untuk segera ambil alih penyelidikan, usut tuntas, dan tetapkan tersangka!” teriak Iqbal di depan puluhan massa.
Selain menuntut pengambilalihan kasus, FML juga meminta Mabes Polri membentuk tim khusus yang independen untuk menangani dugaan jaringan mafia hukum di Lampung. Massa menekankan perlunya investigasi menyeluruh terhadap oknum-oknum di Polda Lampung yang diduga terlibat dalam “pengamanan kasus” agar tidak ada intervensi politik dalam proses hukum. Mereka juga menuntut pengungkapan jalur yang memungkinkan manipulasi identitas hingga Eka Afriana bisa menduduki jabatan strategis publik.
Aksi ini menjadi sorotan publik karena menggunakan simbol-simbol kuat dalam demonstrasi, termasuk atribut kertas bertuliskan “Hukum untuk Semua” dan poster berisi tuntutan transparansi serta akuntabilitas penegakan hukum. Iqbal menambahkan, jika Mabes Polri tidak segera bertindak, kasus ini akan menjadi preseden buruk yang mencoreng nama baik kepolisian dan mengikis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Pengamat hukum Lampung, Dr. Hendrianto, menilai skandal ini bisa menjadi titik kritis bagi kredibilitas institusi kepolisian. “Kasus ini menguji profesionalisme aparat penegak hukum. Jika Mabes Polri abai terhadap dugaan mafia hukum, dampaknya tidak hanya lokal, tetapi juga nasional. Ini bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap seluruh sistem hukum,” katanya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak terlapor Eka Afriana belum memberikan respons resmi terkait tuduhan dan aksi FML. Aksi demonstrasi ini diwarnai pengawalan ketat aparat kepolisian, namun tetap berlangsung damai dan tertib, menunjukkan ketegangan politik yang tinggi namun tidak mengarah pada bentrokan fisik.***














