MAJALAH NARASI- Puisi “Malam Menyulam Perpisahan” karya Muhammad Alfariezie lagi ramai dibicarakan di kalangan pecinta sastra muda. Banyak yang bilang puisi ini bukan cuma indah—tapi juga “nendang di hati”, terutama buat generasi yang hidup di tengah quarter-life crisis, hubungan ambiguis, dan rasa rindu yang seringnya cuma dipendam.
Dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna, Alfariezie menghadirkan suasana rumah, kehangatan, dan kesunyian yang terasa relatable banget buat siapa pun yang pernah ngerasain jarak—baik jarak fisik maupun emosional. Citra seperti piama merah jambu, wedang hangat, kunang-kunang, sampai hujan, membentuk “ruang psikologis” yang bikin pembaca merasa seolah berada di dalam adegan itu.
Dan, jujur aja—puisi ini kerasa kayak baca chat lama terus nostalgia sendiri.
Kenapa Puisi Ini Viral di Kalangan Gen Z?
1. Ambiguitas yang Bikin Pembaca Pengen Baca Ulang
Puisi ini kaya dengan floating signifiers—makna-makna yang cair dan bisa berubah tergantung siapa yang membaca. Tokoh “nyonya”, “saya”, dan “nona” bisa ditafsirkan sebagai keluarga, kekasih, atau bahkan bagian dari diri sendiri.
Ini cocok banget dengan gaya berpikir Gen Z yang suka reflektif, open-ended, dan penuh interpretasi. Puisi ini seolah mengajak pembaca untuk masuk ke dalam labirin emosinya masing-masing.
2. Vibes Rumah yang Hangat tapi Ganjil
“Mengenakan piama merah jambu…” langsung menciptakan rasa cozy. Tapi makin dibaca, suasananya berubah jadi sendu, ambigu, kayak pulang ke rumah tapi merasa asing.
Itu adalah jenis kehangatan yang rapuh—hangat tapi nyekik.
3. Emosi yang Disampaikan Lewat Benda-Benda Kecil
Alfariezie nggak nulis “aku sedih”, “aku takut kehilangan”, atau “aku mau pergi”. Dia menyampaikan semuanya lewat:
- benang yang dirajut,
- hujan yang lama,
- wedang di meja,
- kunang-kunang di malam hari.
Ini estetik banget dan sangat Gen Z—emosi disampaikan lewat simbol, bukan deklarasi.
Kelanjutan Puisi (sebagai referensi publik)
Malam Menyulam Perpisahan
Mengenakan piama merah jambu
penghibur pandang menjelang
bulan berbinar, nyonya duduk tenang
sambil merajut benang menunggu tuan
dari menjual hasil ladang…
(dan seterusnya)
Analisis Gaya Gen Z: Bukan Sekadar Puisi, tapi Mood
1. Liris = Ruang Psikologis
Dalam pendekatan New Lyric Criticism, tokoh “saya” bukan sekadar narator, tapi ruang emosi yang bergerak di antara rindu, penantian, dan ketidakpastian. Suaranya terasa seperti seseorang yang sudah lama kabur dari perasaan sendiri, lalu ‘dipaksa’ pulang.
Nyonya menjadi sosok yang hangat sekaligus mengintimidasi secara emosional—kayak orang yang tiba-tiba paham isi hati kita tanpa perlu dijelasin.
2. Afek Mengalir Tanpa Dramatisasi
Puisi ini punya gaya yang calm, soft, tapi justru itu yang bikin perih. Emosinya terasa:
- rindu yg ditunda,
- keputusan yg ditakuti,
- perpisahan yang disadari pelan-pelan.
Gen Z suka narasi yang subtle begini—lebih jujur, lebih manusiawi.
3. Poststrukturalisme “Ringan namun Ngena”
Makna dalam puisi ini nggak pernah selesai. Semua tokoh dan objek bersifat multiinterpretatif:
- Nyonya bisa jadi ibu, kenangan, atau diri yang lama.
- Nona bisa jadi cinta baru, masa depan, atau tuntutan hidup.
- Wedang dan benang adalah memori dan harapan yang direkatkan.
Puisi ini sejalan dengan worldview Gen Z: dunia yang ambiguis, keputusan yang nggak pernah jelas-jelas benar atau salah, dan perasaan yang terus berubah.
Tema Besar: Perpisahan yang Pelan dan Menyakitkan
Perpisahan dalam puisi ini bukan momen dramatis kayak film komedi romantis. Ia hadir secara perlahan:
- seperti perjalanan panjang,
- hujan yang tak kunjung reda,
- bunga yang belum mekar,
- benang yang terus disulam.
Perpisahan bukan “akhir”—tapi proses. Dan itulah yang paling menyakitkan.
Kesederhanaan yang Justru Menampar
Diksi seperti:
- piama
- wedang
- pelukan
- kembang
- hujan
adalah hal sehari-hari, tapi justru itu yang membuat puisi ini dekat. Inilah estetika yang Gen Z banget: sederhana, minimalis, tapi penuh ruang untuk merasakan.
Dan ketika sampai pada kalimat:
“Tunaikan yang harus segera tunai”
Pembaca langsung merasakan hening yang berat. Semacam ultimatum, tapi juga pengingat bahwa hidup nggak bisa selalu ditunda.
Penutup: Puisi Ini “Nancep” Karena Ia Bukan Meminta Dipahami—Tapi Dirasakan
“Malam Menyulam Perpisahan” bukan puisi yang memberi jawaban. Ia memberi ruang untuk diam, berpikir, overthinking, dan merasa.
Buat generasi yang hidup dalam:
- hubungan abu-abu,
- komunikasi pasif-agresif,
- perasaan yang gak pernah tersampaikan,
- dan pilihan hidup yang sering bikin bingung,
puisi ini terasa seperti cermin.
Dan mungkin, itu sebabnya karya Muhammad Alfariezie mengguncang ruang psikologis pembacanya—karena ia membuka pintu ke ruang yang sebenarnya sudah lama kita hindari.***














