MAJALAH NARASI– Kader muda partai Nasional Demokrat (NasDem), M. Nikki Saputra, kini menjadi sorotan tajam publik lantaran dianggap menampilkan citra transparansi di media sosial, namun bungkam saat diminta klarifikasi terkait anggaran kontroversial SMA Swasta Siger. Fenomena ini mengungkap paradoks nyata dalam perilaku legislator Bandar Lampung yang aktif bersuara di dunia maya, tetapi minim respons di ranah nyata, terutama dalam urusan anggaran publik yang sensitif.
Nikki Saputra bukan satu-satunya politisi yang menjadi sorotan. Ia tampak sejajar dengan kader wanita Golkar, Heti Friskatati, dan Mayang Suri Djausal dari Gerindra, yang juga senyap saat publik menyoroti rentetan skandal anggaran sekolah Siger—sekolah yang digagas Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana, yang populer dengan julukan The Killer Policy.
Ironisnya, sikap diam Nikki bertolak belakang dengan postingan media sosialnya pada 4 Juni 2025, saat menghadiri workshop perencanaan keuangan daerah. Ia menulis di akun Instagramnya:
“Perencanaan yang matang dan pengelolaan keuangan yang transparan adalah kunci masa depan daerah yang berkelanjutan. Saatnya integrasi jadi aksi, bukan sekadar wacana.”
Namun, kata-kata tersebut kini dianggap publik sebagai pencitraan semata. Nikki tidak memberikan jawaban saat ditanya mengenai anggaran SMA Swasta Siger yang masih menumpang di gedung SMP Negeri 38 dan 44 Bandar Lampung. Pertanyaan itu disampaikan melalui pesan singkat pada Sabtu, 4 Oktober 2025, terkait malpraktik di sekolah tersebut yang terjadi pada Selasa, 30 September 2025. Murid-murid Siger 2 mengeluhkan praktik ilegal jual beli modul pelajaran seharga Rp 15.000 per eksemplar, dengan total hingga 15 modul per siswa, sesuai mata pelajaran.
Tidak hanya itu, publik juga menyoroti postingan Nikki yang menampilkan kegiatan rapat koordinasi pembentukan SMA Swasta Siger bersama Komisi 4 DPRD Kota Bandar Lampung, Disdikbud, camat, kepala sekolah SMP, Dewan Pendidikan, dan tokoh pendidikan. Hal ini menandakan bahwa sejak awal, Nikki mengetahui perencanaan penganggaran dan potensi perubahan Perda atau Perwali untuk mendukung keberadaan sekolah yang kontroversial ini.
Ketua publik dan aktivis pendidikan menilai, sikap diam Nikki Saputra menimbulkan kesan bahwa politisi muda ini memilih menyamakan diri dengan Heti Friskatati dan Mayang Suri Djausal—semua terlihat energik di luar, namun kurang berani menindaklanjuti persoalan publik yang menuntut transparansi dan akuntabilitas nyata.
Kritikus juga menekankan bahwa perilaku legislator yang hanya aktif di media sosial, namun tidak menjawab pertanyaan serius terkait anggaran, merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi DPRD Kota Bandar Lampung. Transparansi publik bukan hanya soal caption atau postingan, melainkan juga soal keberanian anggota legislatif untuk menegakkan fungsi pengawasan anggaran dan perlindungan hak-hak masyarakat.
Sejauh ini, publik menunggu apakah Nikki Saputra akan menanggapi kritik ini dan menjalankan peran legislator yang sebenarnya, atau tetap memilih diam, membiarkan kontroversi SMA Swasta Siger terus berkembang.***














