MAJALAH NARASI– Penyair muda Indonesia, Muhammad Alfariezie, kembali mencuri perhatian publik sastra dengan karyanya yang berjudul “Tuntunan Keinginan”. Puisi ini hadir seolah menanggapi teori klasik yang dibawa oleh Iwan Fals dalam lagu legendarisnya, *Seperti Matahari*, yang menempatkan keinginan sebagai sumber penderitaan manusia. Dengan gaya yang jernih dan rasional, Alfariezie justru menekankan bahwa keinginan bukan musuh, melainkan tuntunan untuk hidup lebih sadar dan terarah.
Puisi ini lahir dari pergulatan batin antara hasrat dan kesadaran moral, antara keinginan spontan dan pertimbangan rasional. Melalui “Tuntunan Keinginan”, penyair menyoroti bagaimana memahami keinginan dapat menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan batin, sekaligus pencapaian sosial yang bermakna. Alfariezie menegaskan bahwa keinginan adalah energi eksistensial yang bisa memandu manusia bertindak, mengambil peluang, dan meraih kemenangan, baik secara batin maupun dalam konteks kehidupan sosial.
Puisi inti:
di setiap ingin yang kadang enggak
kita mengerti, bukan tak mungkin
menyiksa nurani
maka pahamilah kehendak agar
ketika pagi dengan secangkir kopi,
kita ndak menimbang perasaan
tapi memikirkan peluang
dan supaya saat bulan melingkar
sempurna di jam 7 malam dan di
meja terhidang wedang, yang
terbayang senang untuk menang
keinginan adalah landasan untuk
kita terbang dan selamat ketika
mendarat
keinginan ialah jendela, adalah
pintu untuk kita melihat-melangkah
sempurna
maka pahamilah bahwa setiap ingin
pasti alasannya tidak mengandung
tekanan
2025
struktur dan alur puitik
“tuntunan keinginan” dibangun dalam empat lapisan makna yang mengalir secara logis:
• bagian pertama menegaskan kebingungan manusia terhadap keinginan yang tidak selalu dimengerti, membuka kesadaran pembaca akan ketidakpastian hidup.
• bagian kedua menawarkan pendekatan rasional: memahami kehendak, menggantikan emosi dengan pertimbangan logis, disimbolkan melalui “secangkir kopi pagi”.
• bagian ketiga menampilkan momen reflektif malam hari, dengan simbol “bulan melingkar sempurna” dan “wedang di meja”, menandai harmoni antara pencapaian batin dan kenyamanan sederhana.
• bagian keempat menutup puisi dengan perenungan filosofis: keinginan adalah jendela dan pintu—simbol keterbukaan, gerak, dan kesadaran diri.
diksi dan gaya bahasa
Alfariezie menggunakan bahasa lugas namun reflektif, menolak simbolisme berlebihan namun tetap kaya makna. Pilihan kata seperti “nurani”, “kehendak”, “secangkir kopi”, dan “bulan melingkar sempurna” menyatukan realitas sehari-hari dengan renungan batin. Kata “ndak” memberi nuansa lisan dan keakraban, membuat pembaca lebih mudah terhubung dengan pesan filosofis. Irama puisi tidak terikat rima, tetapi diatur melalui jeda dan enjambemen, menciptakan tempo renungan yang harmonis dengan alur pikiran.
nilai filosofis dan psikologis
Puisi ini dapat dibaca sebagai meditasi kesadaran diri modern. Di tengah dunia yang serba cepat, keinginan sering dianggap beban, namun Alfariezie menantang pandangan itu:
“keinginan adalah landasan untuk kita terbang dan selamat ketika mendarat.”
Baris ini menunjukkan keseimbangan antara ambisi dan kendali diri, mengajarkan bahwa memahami keinginan berarti mengelolanya menjadi arah hidup, bukan sekadar mengikuti nafsu.
posisi karya dalam puisi modern indonesia
“Tuntunan Keinginan” sejalan dengan tradisi puisi reflektif-filosofis Indonesia mutakhir. Karya ini tidak bermain dalam simbolisme romantik, melainkan menekankan pencerahan melalui kesadaran, mengingatkan pada karya Sapardi Djoko Damono di masa akhir, atau renungan lembut Afrizal Malna. Alfariezie menyajikan nasihat yang lahir dari pengalaman batin, bukan dogma, sehingga memahami keinginan menjadi memahami diri sendiri, menandai kedewasaan jiwa.
Puisi ini merupakan karya meditatif yang memadukan rasionalitas dan kepekaan nurani, menghadirkan metafora sehari-hari seperti kopi, bulan, dan wedang sebagai pintu masuk menuju kesadaran mendalam: setiap keinginan adalah cermin cara kita memahami hidup, mengambil keputusan, dan bertumbuh sebagai manusia.***














