MAJALAH NARASI- Muhammad Alfariezie merupakan salah satu penyair muda dari Bandar Lampung yang namanya mulai menarik perhatian kalangan pembaca sastra dan komunitas literasi. Karya-karyanya dikenal memiliki suasana kontemplatif, lembut, dan puitis, dengan bahasa yang tampak sederhana tetapi menyimpan makna yang berlapis. Dalam setiap puisinya, Alfariezie seolah menempatkan pembaca pada ruang sunyi, di mana detail alam, perasaan, dan waktu bertemu dalam satu kesadaran reflektif.
Salah satu puisinya, “Hujan di Pucuk Bunga Jurang”, menjadi penanda gaya dan arah estetikanya.
Puisi:
Hujan di Pucuk Bunga Jurang
Bunga berduri pinggir jurang
berteman hujan. Warnanya
merah berkaca bening: segar
Kupu-kupu enggak pernah alpa
sampai ke pucuknya hingga
tumbuh melulu pemandangan
pinggir jurang
Siapa yang tak betah berminggu
bertenda walau awan masih berat
membuka tirainya
Gerak lugu bunga pinggir jurang
refleksi nanti yang tidak akan
pernah sedih
2025
Makna yang Terhampar dari Sebuah Lanskap Kecil
Puisi ini berbicara tentang keindahan yang tumbuh dalam keterasingan. Bunga berduri yang tumbuh di tepi jurang menghadirkan kontras: ia rapuh namun bertahan, berbahaya namun tetap memancarkan kesegaran warna dan kehidupan. Kehadiran hujan memberi dimensi penyucian serta keintiman alam yang lembut tetapi terus berlangsung.
Sementara kupu-kupu yang “enggak pernah alpa” menjadi citra tentang hal-hal indah atau kenangan baik yang selalu kembali, tanpa perlu dipanggil. Ada kesetiaan tanpa dramatisasi.
Latar estetik ini memberi pesan bahwa keindahan tidak selalu hadir di tempat yang aman. Ada nilai hidup yang tumbuh dari tepi, dari ruang yang tidak banyak orang berani mendekat.
Struktur dan Ritme yang Mengalir
Puisi ini terdiri dari empat bait dengan bentuk bebas, tanpa dominasi tanda baca. Hal ini memungkinkan aliran visual dan napas puisi berjalan perlahan, seperti hujan gerimis yang turun tanpa suara keras. Pengulangan frasa pinggir jurang menjadi jangkar atmosfer sekaligus penanda pusat renungan.
Ritmenya tidak berusaha memaksa rima, tetapi mengandalkan kehalusan diksi dan citraan. Pembaca diajak masuk ke keheningan: jeda antarbaris menjadi ruang tafsir yang luas.
Tema Ketabahan dan Ketenangan Batin
Tema utama puisi ini adalah ketabahan dalam kesunyian. Bunga bersemi di tempat yang sepi dan rentan, tetapi justru di sanalah ia menemukan kebebasan dan kedamaian. Keindahan yang hadir bukan sebagai perlawanan, tetapi sebagai penerimaan terhadap kondisi yang ada.
Larik penutup, tentang “gerak lugu bunga pinggir jurang” yang “tidak akan pernah sedih,” memberikan pesan bahwa kebeningan batin bukan datang dari kenyamanan, melainkan dari penerimaan terhadap takdir dan ruang hidup yang dipilih.
Nuansa dan Citraan yang Mengendap
Bahasa yang digunakan Alfariezie tidak berlebihan, tetapi mampu meninggalkan kesan mendalam. Citra visual (warna merah bening, awan berat), citra gerak (kupu-kupu, gerak lugu), dan citra suasana (hujan, jurang) berpadu membentuk pengalaman membaca yang tenang tetapi menggugah.
Kita seolah melihat, mendengar, dan merasakan cuaca dalam puisi ini.
“Hujan di Pucuk Bunga Jurang” memperlihatkan kematangan pendekatan sastra Alfariezie yang mengutamakan kesederhanaan, kedalaman makna, dan kesadaran terhadap lanskap alam sebagai ruang batin manusia. Ia menghadirkan dunia yang sunyi, tetapi bukan sepi; tenang, tetapi penuh resonansi perasaan.
Muhammad Alfariezie menjadi salah satu suara penyair muda yang pantas ditunggu perkembangannya. Karyanya membuka jalan bagi pembaca untuk kembali merenungi hal-hal kecil yang mungkin selama ini terlewat dalam hiruk pikuk hidup sehari-hari: ketabahan, kesederhanaan, dan keindahan yang diam-diam tumbuh di tepi jurang kehidupan.***














