MAJALAH NARASI– Puisi “Sembilan Miliar Kebodohan Kita” karya penyair Muhammad Alfariezie hadir sebagai kritik tajam terhadap realitas sosial-politik yang lahir dari ketimpangan ekonomi, praktik korupsi struktural, dan dominasi elit birokrasi. Melalui diksi yang satir, penyair asal Bandar Lampung ini menyingkap wajah kekuasaan yang menindas rakyat lewat kebijakan dan regulasi yang koruptif, serta menunjukkan bagaimana rakyat sering kali menjadi korban sekaligus alat legitimasi sistem yang menindas mereka sendiri.
Puisi ini dapat dibaca melalui perspektif teori Marxis sebagai potret perjuangan kelas antara kaum berkuasa — yang diwakili oleh birokrasi dan elit kapitalis — dan rakyat kecil yang tertindas oleh sistem. Berikut puisi karya Alfariezie:
Sembilan Miliar Kebodohan Kita
Skandal harus tersingkir!
Bukan iri tapi karena peduli
harga satu regulasi bikin
kita gigit jari
Satu regulasi seharga tiga
mobil mewah bawaan kepala
sekolah! Bayangkan cuma
cuma bagi warga pra
sejahtera
Tapi kita bodoh lebih lagi malas
walau sebatas membayangkan
Kita justru senang susah payah
membopong-gelar karpet
merah untuk wali kota bikin
sekolah
Sekolah yang telah nyata
tidak peduli sembilan miliar
Bayangkan betapa kita
bodoh! Senang pula
membaca berita: “wali kota
bikin sekolah swasta untuk
keluarganya bahagia”
Bayangkan betapa kita
bodoh! 9 miliar sia-sia
ditambah dana hibah
untuk sekolah atas
namanya merogoh kas
negara
Bandar Lampung, 2025
Latar Sosial dan Kritik Kekuasaan
Bait pertama puisi langsung menegaskan sikap penyair terhadap praktik kekuasaan yang tidak pro-rakyat:
“Skandal harus tersingkir!
Bukan iri tapi karena peduli
harga satu regulasi bikin
kita gigit jari.”
Diksi “harga satu regulasi” menyoroti bagaimana kebijakan publik telah dikomodifikasi dan dijadikan alat transaksi elit. Dalam perspektif Marxis, fenomena ini menunjukkan bagaimana negara berfungsi untuk melayani kepentingan kelas penguasa, bukan rakyat. Regulasi yang seharusnya menjadi instrumen keadilan sosial justru beralih menjadi sarana akumulasi modal dan legitimasi kekuasaan.
Korupsi, Ketimpangan Kelas, dan Eksploitasi Publik
Bait selanjutnya menyoroti jurang sosial yang lebar antara elit dan rakyat:
“Satu regulasi seharga tiga
mobil mewah bawaan kepala
sekolah! Bayangkan cuma
cuma bagi warga pra
sejahtera.”
Penyair menyingkap paradoks pendidikan: sementara elit hidup mewah, rakyat miskin harus menanggung dampak sistem yang tidak adil. Kepala sekolah yang memiliki mobil mewah bukan lagi simbol kemajuan, tetapi cerminan kapitalisme yang telah menembus institusi publik. Pendidikan, yang seharusnya menjadi sarana pembebasan rakyat, justru dijadikan alat reproduksi ketimpangan sosial.
Rakyat Pasif dan Kesadaran Palsu
Puisi ini juga menyoroti peran rakyat yang pasif dan mudah terbuai oleh ideologi penguasa:
“Tapi kita bodoh lebih lagi malas
walau sebatas membayangkan.”
Rakyat digambarkan sebagai bagian dari sistem penindasan itu sendiri melalui fenomena “false consciousness,” di mana mereka tidak menyadari ketertindasan yang dialami dan bahkan ikut melanggengkan ketidakadilan.
“Kita justru senang susah payah
membopong-gelar karpet merah
untuk wali kota bikin sekolah.”
Alfariezie menekankan bahwa rakyat yang pasif justru memberikan legitimasi terhadap praktik korupsi dan ketimpangan, sehingga sistem terus berjalan tanpa kontrol sosial yang efektif.
Ironi Kekuasaan dan Penjarahan Dana Publik
Bait-bait akhir puisi memunculkan kritik keras terhadap eksploitasi ekonomi yang sistemik:
“Bayangkan betapa kita
bodoh! 9 miliar sia-sia
ditambah dana hibah
untuk sekolah atas
namanya merogoh kas
negara.”
Angka “9 miliar” menjadi simbol akumulasi kapital dan penjarahan dana publik. Dana yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat malah digunakan untuk kepentingan pribadi elit. Dalam terminologi Marxis, hal ini dapat dianalogikan sebagai pemerasan surplus value, bukan terhadap buruh industri, tetapi terhadap hak publik dan kas negara.
Puisi sebagai Alat Perlawanan dan Kesadaran Kelas
Sastra Marxis menekankan bahwa puisi bukan hanya medium estetika, tetapi juga alat kritik sosial dan ideologis. Puisi Muhammad Alfariezie menolak sikap pasrah dan menyeru munculnya kesadaran baru di kalangan rakyat. Ia mengingatkan bahwa keadilan sosial tidak akan lahir dari simbol-simbol kekuasaan seperti karpet merah dan proyek elit, tetapi dari kesadaran rakyat untuk memahami posisi mereka dalam struktur penindasan dan bertindak nyata.
Dengan gaya bahasa yang sederhana namun penuh sindiran tajam, puisi ini menelanjangi wajah kapitalisme birokratis di tingkat lokal, sekaligus menjadi cermin perjuangan ideologis yang mendorong rakyat untuk berpikir kritis, menuntut transparansi, dan melawan ketimpangan. “Sembilan Miliar Kebodohan Kita” bukan sekadar karya sastra, tetapi seruan agar masyarakat sadar dan berani menuntut keadilan.***














