MAJALAH NARASI– Pernyataan Aspidsus Kejati Lampung Armen Wijaya yang menyebut penanganan kasus dana PI 10% PT LEB akan menjadi role model nasional terus menuai kontroversi. Ungkapan ini muncul pasca-sidang pra peradilan penetapan tersangka Dirut PT LEB, M. Hermawan Eriadi, dan memicu respons keras dari kuasa hukum pemohon.
“Dan kami sampaikan terhadap penanganan perkara ini akan menjadi role model dalam pengelolaan dana PI 10% di seluruh Indonesia,” kata Armen Wijaya, Senin malam, ketika menanggapi penahanan komisaris dan direksi PT LEB. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan publik, apakah kasus hukum bisa dijadikan standar atau model nasional?
Riki Martim, kuasa hukum Hermawan, menegaskan pandangan berbeda. Menurutnya, prinsip role model tidak bisa diterapkan dalam ranah hukum. “Penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, atau advokat, tidak bisa menciptakan sesuatu yang baru di luar aturan. Seseorang tidak bisa dihukum tanpa dasar hukum yang jelas,” tegas Riki, Rabu (3/12/2025) pasca-persidangan di PN Tanjung Karang.
Lebih jauh, Armen menyatakan tujuan role model adalah untuk memastikan pengelolaan dana PI 10% bermanfaat maksimal, baik bagi Provinsi Lampung maupun daerah lain. “Agar ke depannya pengelolaan dana PI 10% dapat dikelola secara benar dan tepat untuk memperoleh PAD baik di Provinsi Lampung maupun di daerah lainnya,” ujarnya.
Namun, Riki menekankan masalah fundamental: belum ada peraturan perundang-undangan yang eksplisit mengenai pengelolaan dana PI 10%. “Asas formalitas harus ada terlebih dahulu. Aturannya jelas, baru kita bisa menerapkan hukum. Kalau belum ada, kita tidak bisa membuat aturan sendiri,” jelasnya.
Riki juga menyoroti minimnya peraturan operasional dari Kementerian ESDM terkait PI 10%, sehingga kasus ini menjadi objek menarik bagi kajian publik. “Masalah Participating Interest memang kompleks. Peraturan pelaksanaannya masih minim, sehingga setiap langkah hukum harus sangat berhati-hati,” tambahnya.
Sidang pra peradilan ini tetap berjalan, dan puncaknya akan terjadi pada Senin, 8 Desember 2025, ketika hakim tunggal Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Muhammad Hibrian, membacakan putusan. Hasil sidang akan menjadi penentu apakah penetapan tersangka terhadap Dirut PT LEB sah atau batal demi hukum.
Dana PI 10% sendiri adalah kepemilikan atau hak partisipasi sebesar 10% yang diberikan kepada pemerintah daerah melalui BUMD dalam proyek migas yang dikelola kontraktor (KKKS). Dana ini bukan hibah, melainkan hak bisnis, termasuk pembagian dividen dan keuntungan dari kegiatan eksplorasi dan produksi migas.
Publik kini menunggu dengan seksama hasil sidang, karena keputusan ini tidak hanya berdampak pada nasib tersangka, tetapi juga pada potensi pendapatan asli daerah (PAD) Lampung dari sektor migas. Sejumlah pihak menilai, keputusan hakim dapat memengaruhi arah pengelolaan PI 10% dan standar hukum bagi kasus serupa di masa depan, menjadikan sidang ini sebagai titik penting dalam sejarah hukum pertambangan dan migas di Indonesia.
Selain aspek hukum, kasus ini memunculkan perdebatan publik mengenai tata kelola BUMD, akuntabilitas pendapatan daerah, dan bagaimana hak partisipasi daerah dalam proyek migas bisa dimanfaatkan secara optimal tanpa menyalahi aturan. Sidang ini menjadi sorotan nasional, karena bisa menjadi preseden bagi penanganan kasus PI 10% di daerah lain.
Dengan waktu yang semakin dekat menuju pembacaan putusan, perhatian publik, media, dan kalangan akademisi hukum semakin intens memantau proses ini. Apakah PT LEB akan kembali beroperasi dan memberikan kontribusi maksimal bagi PAD Lampung, ataukah kasus ini akan menjadi pembelajaran hukum yang mempengaruhi seluruh pengelolaan PI 10% di Indonesia? Semua akan terjawab pada Senin, 8 Desember 2025.***














