MAJALAH NARASI- Kementerian Kehutanan Indonesia kembali menjadi sorotan setelah bencana banjir bandang melanda tiga provinsi di Sumatera. Di tengah krisis lingkungan yang meluas, perhatian publik tertuju pada langkah dan kinerja Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, dalam menangani dampak bencana serta pengelolaan hutan di Indonesia.
Bencana yang menimpa Sumatera telah membuka mata banyak pihak mengenai kondisi hutan dan praktik pembalakan liar yang masih terjadi. Kayu gelondongan yang terbawa arus banjir hingga ke pemukiman warga menjadi bukti nyata dari kerusakan yang terjadi dan sekaligus pesan visual dari alam yang memperingatkan pengelola hutan.
Menteri Raja Juli Antoni, menurut pengamatan, menunjukkan ketenangan yang kontras dengan kekacauan di lapangan. Kementerian yang dipimpinnya bergerak cepat untuk mengidentifikasi 12 perusahaan yang diduga terlibat pelanggaran pasca-bencana. Langkah ini menunjukkan kemampuan kementerian dalam melakukan evaluasi dan tindakan paska-kejadian, meski kritik muncul terkait kurangnya upaya pencegahan sebelum bencana terjadi.
Selain itu, fokus pada digitalisasi layanan kehutanan menjadi salah satu capaian Kementerian di bawah kepemimpinan Raja Juli. Layanan perizinan dan administrasi kini berjalan lebih efisien, menggunakan sistem e-signature dan koneksi internet yang cepat. Namun, publik mempertanyakan relevansi prioritas ini di tengah krisis ekologi yang mengancam nyawa masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
Ketahanan politik Menteri Raja Juli juga menjadi sorotan. Meskipun mendapat desakan mundur dari DPR, termasuk fraksi pendukung, posisi beliau tetap stabil. Stabilitas ini menjadi simbol ketahanan politik dan konsistensi kepemimpinan di mata sebagian kalangan, walau sebagian masyarakat menilai respons terhadap bencana masih jauh dari memadai.
“Keputusan untuk mundur adalah hak prerogatif pribadi, tetapi yang paling penting adalah efektivitas langkah yang diambil dalam mencegah dan mengatasi bencana,” ujar seorang pengamat kehutanan. Pernyataan ini menyoroti perlunya keseimbangan antara kenyamanan jabatan dan tanggung jawab terhadap lingkungan serta keselamatan warga.
Sementara hutan Indonesia terus menghadapi ancaman kerusakan, masyarakat dan pemerhati lingkungan menunggu langkah konkret Kementerian Kehutanan. Krisis ekologi yang berulang menjadi pengingat bahwa hutan bukan hanya simbol keindahan, tetapi juga sumber kehidupan yang memerlukan pengelolaan proaktif dan responsif.***














