MAJALAH NARASI- Pagi di Bandar Lampung seharusnya dimulai dengan hangat, ditemani sisa hujan semalam yang masih menempel di daun-daun kota. Namun ketenangan itu seketika terusik oleh satu ingatan: SMA Swasta Siger, sekolah yang belakangan mencuri perhatian publik. Ingatan itu memantul seperti kisah lama—kisah tentang larangan surga dan Siti Hawa yang tergoda buah terlarang. Imaji itu melompat, mengarah ke dua sosok perempuan yang kini berada di pusaran kontroversi: Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung, Eka Afriana.
Perbandingan itu bukan tanpa alasan. Dalam kisah kitab, larangan telah diberikan, namun tetap dilanggar. Dan apa yang terjadi hari ini terasa serupa. Sudah ada aturan negara yang jelas, peringatan dari berbagai pihak, hingga sorotan tajam dari praktisi pendidikan dan legislator. Namun larangan itu tetap saja ditembus, seolah “buah terlarang” itu terlalu menggoda untuk tidak dicicipi. Bedanya, jika kisah Hawa berakhir dengan terusirnya manusia pertama dari surga, kasus ini berakhir dengan kegaduhan publik, dugaan pelanggaran hukum, dan reputasi pemerintah daerah yang dipertaruhkan.
Akar persoalan bermula dari berdirinya SMA Siger—sekolah swasta perorangan yang didirikan oleh lima pihak, salah satunya adalah pejabat aktif: Eka Afriana. Masalahnya, SMA ini berdiri tanpa legalitas yang sah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 secara tegas menata tata kelola lembaga pendidikan. Namun aturan yang seharusnya menjadi pagar hukum itu justru tampak seperti dekorasi yang bisa dilewati kapan pun.
Puncak persoalan muncul ketika Eva Dwiana, sebagai Wali Kota, mengumumkan secara terbuka bahwa SMA Siger membuka pendaftaran peserta didik baru pada 9–10 Juli 2025. Pengumuman yang mencengangkan ini mengabaikan fakta bahwa sekolah tersebut bahkan belum mengantongi izin pendirian yayasan dari Kemenkumham. Lebih ironis lagi, sekolah itu diklaim “gratis” karena seluruh biaya ditanggung Pemerintah Kota Bandar Lampung. Namun publik tidak diberi tahu bahwa SMA tersebut bukan milik Pemkot, melainkan milik perorangan—salah satunya pejabat aktif yang seharusnya mengawasi, bukan menguasai.
Kepala sekolah swasta seluruh kota sempat memprotes, bahkan membawa perkara ini ke meja Dewan. Tetapi keputusan Eva tidak bergeser. Pendaftaran tetap berjalan, dan operasional sekolah dilanjutkan tanpa legalitas yang sah. Fakta paling mencolok terungkap pada 15 November 2025: penerimaan murid dilakukan tanpa dasar hukum yayasan, tanpa izin resmi, tanpa kejelasan legalitas.
Di titik inilah publik mulai bertanya: apakah kedua pejabat itu sedang memainkan peran seperti Siti Hawa? Tahu ada larangan, tetapi tetap melakukan. Tahu ada aturan, tetapi memilih memetik buahnya.
Masalah tidak berhenti di legalitas yayasan. Ada indikasi pelanggaran lain yang tak kalah serius, yakni pelanggaran Permendagri terkait penggunaan aset negara. SMA Siger diketahui menggunakan fasilitas dua sekolah negeri: SMP 38 dan SMP 44 Kota Bandar Lampung. Kabid Dikdas Mulyadi mengklaim sudah ada izin, tetapi tidak dapat menunjukkan dokumen resmi seperti BAST (Berita Acara Serah Terima). Sementara Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud disebut belum memberikan klarifikasi lengkap menyangkut prosedur peminjaman aset kota. Ketidaktransparanan ini semakin memperkuat dugaan bahwa operasional SMA Siger kemudian berjalan di luar jalur regulasi.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul: bagaimana sekolah perorangan dapat menggunakan aset negara tanpa prosedur yang jelas? Apakah ada intervensi? Apakah seluruh proses ini berjalan dengan restu dua pejabat kunci tersebut?
Publik makin bingung, karena kondisi ini justru terjadi di tengah seruan nasional untuk memperbaiki tata kelola pendidikan dan menutup ruang penyalahgunaan kewenangan. Ironisnya, dua sosok perempuan yang memegang jabatan strategis di Kota Bandar Lampung justru berada di balik pendirian sekolah swasta yang kini dianggap melanggar undang-undang.
Sebagaimana diketahui, para pendiri Yayasan Siger Prakarsan Bunda terdiri atas Eka Afriana (Kadisdikbud Bandar Lampung), Khaidarmansyah (eks Plt Sekda/Ketua Yayasan), Satria Utama (Sekretaris Yayasan dan Plt Kasubag Aset), Agus Didi Bianto (Bendahara), dan Suwandi Umar (Pengawas). Mereka adalah pihak yang menguasai sekolah yang kini menjadi sorotan tajam publik.
Kontroversi ini belum berakhir. Pertanyaan publik belum terjawab. Legalitas yayasan belum jelas. Transparansi penggunaan aset daerah masih remang-remang. Dan pemerintah Kota Bandar Lampung belum juga memberikan penjelasan mendalam.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat bertanya: apakah nurani telah kalah oleh ambisi? Apakah kekuasaan pelan-pelan mengikis kepatuhan terhadap aturan? Dan apakah kita sedang menyaksikan kisah baru tentang “buah terlarang” yang kembali dipetik oleh tangan-tangan yang seharusnya melindungi kepentingan publik?***














