MAJALAH NARASI- Dinamika soal dugaan pemalsuan identitas yang menyeret nama Eka Afriana kembali memanas dan makin mengundang perhatian publik. Sosok yang saat ini memegang peran strategis terkait Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta PGRI Kota Bandar Lampung itu kembali disorot setelah Panglima Ormas Ladam, Misrul, menyuarakan kekhawatirannya atas banyaknya kejanggalan yang hingga kini belum memperoleh kejelasan hukum.
Misrul, dalam pernyataannya pada Jumat, 28 November 2025, menegaskan bahwa klarifikasi Eka mengenai perubahan identitas karena faktor non medis atau klenik—yang disebut terjadi pada usia 30 tahun—justru membuka lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Menurutnya, perubahan data pribadi yang begitu fundamental tidak bisa hanya berdasar pada pengalaman spiritual atau alasan subjektif lainnya.
“Apakah perubahan identitas itu sudah diputuskan melalui sidang di pengadilan negeri? Sebab, untuk mengubah tanggal lahir, ada jalur hukum yang wajib diikuti,” ujar Misrul. Ia menambahkan bahwa seluruh warga negara Indonesia terikat aturan hukum yang ketat dalam administrasi kependudukan, sehingga perubahan data bukan sesuatu yang bisa dilakukan sepihak.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan serta Permendagri Nomor 108 Tahun 2019, perubahan tanggal lahir hanya dapat dilakukan bila terdapat bukti kuat seperti kesalahan penulisan atau ketidaksesuaian antara akta kelahiran dan data KTP. Itu pun tetap harus melalui proses hukum pengadilan negeri untuk mendapatkan ketetapan yang sah.
Jika terbukti ada pemalsuan data kependudukan, pelakunya terancam pidana hingga 6 tahun penjara dan denda puluhan juta rupiah. Bahkan, bila identitas yang diubah tersebut digunakan untuk memperlancar jalan menuju ASN, maka potensi jerat hukum dapat melebar ke ranah tindak pidana korupsi.
Kecurigaan publik semakin besar ketika menyoroti perbedaan tahun kelahiran antara Eka Afriana dan saudari kembarnya, Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana. Eva tercatat lahir pada 1970, sedangkan Eka pada 1973. Jika keduanya benar-benar saudari kembar, perbedaan tahun kelahiran menjadi hal yang tak masuk akal. Hal ini kemudian menimbulkan dugaan bahwa perubahan identitas tersebut telah disesuaikan agar Eka dapat memenuhi syarat usia untuk menjadi CPNS.
NIP Eka (19730425 200804 2 001) menunjukkan bahwa ia menjadi PNS sejak 2008. Bila ia benar lahir pada 1970, maka usianya saat itu sudah 38 tahun, sementara batas maksimal pendaftaran CPNS hanya 35 tahun. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana perubahan identitas itu bisa tepat mengurangi usia tiga tahun sehingga sesuai syarat?
Misrul menilai kejanggalan tersebut harus menjadi perhatian masyarakat sekaligus penegak hukum. Ia mengajak publik untuk lebih cermat dan kritis, bukan hanya pada narasi yang beredar, tetapi pada legalitas proses yang seharusnya ditempuh.
Sebagai pembanding, Misrul menyinggung kasus perubahan identitas yang dilakukan putri Zulkifli Hasan, yang dulu bernama Futri Zulya Savitri. Berdasarkan laporan radarcirebon.com, perubahan identitas tersebut diproses secara resmi melalui tiga kali persidangan dan ditetapkan oleh hakim. Prosedurnya jelas, transparan, dan sesuai aturan. Hal ini menjadi rujukan yang menunjukkan bahwa perubahan identitas di Indonesia bukanlah hal yang sembarangan dan harus dipastikan melalui jalur hukum.
Publik kini menunggu langkah tegas dari penegak hukum dan pemerintah Kota Bandar Lampung untuk memastikan kejelasan skandal identitas yang semakin menyita perhatian ini. Masa depan integritas pelayanan publik sangat ditentukan oleh bagaimana kasus ini ditangani.***














