MAJALAH NARASI– Ketua salah satu komisi DPRD Kota Bandar Lampung menyampaikan kekhawatirannya terkait kebijakan dana hibah Pemkot di bawah kepemimpinan Wali Kota Eva Dwiana, yang kini akrab disebut The Killer Policy. Kekhawatiran ini muncul karena anggaran hibah diberikan kepada pihak swasta maupun lembaga vertikal negara tanpa kajian akademik yang jelas, sehingga menimbulkan potensi polemik dan risiko hukum.
Pada Rabu, 10 Desember 2025, Ketua Komisi tersebut menegaskan bahwa sejumlah kebijakan anggaran yang tidak melalui kajian mendalam membuat DPRD menunda persetujuan atau tidak meng-approve hibah tertentu. Menurutnya, “Takutnya begini, takutnya tiba-tiba nongol gelondongan untuk bangun ini bangun itu. Ini yang kadang-kadang kita enggak tahu, kayak dana hibah Kejati itu kan kami enggak tahu prosesnya bagaimana dan seperti apa,” ungkapnya. Pernyataan ini menyoroti dana hibah Pemkot untuk pembangunan di luar hibah Kejati Lampung, yang sebelumnya memicu kontroversi besar.
Kontroversi sebelumnya terkait dana hibah sebesar Rp60 miliar untuk Kejati Lampung menjadi sorotan publik karena dianggap melawan hukum. Beberapa LSM dan organisasi pemuda mendatangi lembaga yudikatif untuk menyoroti pemberian hibah tersebut. Mereka menilai APBD daerah seharusnya tidak digunakan untuk membiayai pembangunan gedung lembaga vertikal seperti Kejati, karena anggarannya seharusnya bersumber dari APBN. Abdullah Sani, seorang pegiat kebijakan publik, menekankan, “Hal ini bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.”
Kritik DPRD dan publik juga mengarah pada praktik penganggaran Pemkot yang dinilai tidak sehat. Ketiadaan kajian akademik dalam penyusunan anggaran hibah memunculkan kekhawatiran tentang transparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Banyak pihak menilai kebijakan ini bisa menimbulkan konflik kepentingan, apalagi jika dana diberikan tanpa prosedur yang jelas dan akuntabel.
Selain itu, sebutan The Killer Policy muncul karena kebijakan Wali Kota Eva Dwiana dianggap tidak mengindahkan beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya terkait pendirian SMA Swasta Siger. Praktik ini menambah persepsi bahwa beberapa keputusan Pemkot dibuat secara sepihak dan tanpa masukan DPRD.
Meski kontroversi terkait hibah Kejati Lampung sudah mulai meredup, isu transparansi dan kajian akademik tetap menjadi sorotan DPRD. Langkah kedepan dianggap penting untuk memastikan pengelolaan dana publik sesuai aturan dan tidak menimbulkan risiko hukum bagi pemerintah kota maupun penerima hibah.***














