MAJALAH NARASI— Indonesia tengah kembali berduka. Banjir bandang dahsyat yang melanda Sumatera disebut-sebut memiliki dampak kerusakan yang bahkan melebihi tragedi tsunami Aceh 2004. Ribuan warga mengungsi, puluhan ribu rumah terendam, sejumlah wilayah lumpuh total, dan derita para penyintas mengundang gelombang simpati dari berbagai daerah.
Namun di tengah gelombang empati nasional, publik justru dikejutkan oleh pernyataan kontroversial salah satu wali kota. Alih-alih menggerakkan pemerintah daerahnya untuk menyalurkan bantuan logistik yang memadai, ia justru menginstruksikan jajaran ASN mengumpulkan pakaian bekas untuk dikirimkan kepada korban bencana. Pernyataan tersebut terekam jelas dalam video tanggal 4 Desember 2025 dan segera membuat warga Indonesia geram.
“Asn semuanya sudah mengumpulkan dana, mengumpulkan baju-baju yang masih bisa dipakai, tinggal nanti kita kirimkan,” ujarnya dalam video tersebut—sebuah instruksi yang dinilai tidak sensitif terhadap kondisi korban bencana.
Pernyataan ini langsung memantik reaksi keras dari Panglima Ormas Laskar Muda Lampung, Misrul—yang populer dengan sebutan Pangdam Misrul. Melalui pernyataan terbuka, ia menyebut langkah wali kota tersebut sebagai bentuk “sesat pikir” yang memalukan.
“Malu saya punya wali kota yang sesat pikir,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa kritiknya bukan didasari urusan pribadi, bukan pula konflik masa lalu. Kritik itu murni berasal dari analisis kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat dalam kondisi darurat.
Menurut Misrul, kebijakan wali kota itu tampak semakin janggal jika melihat rekam jejaknya beberapa waktu sebelumnya. Sang wali kota diketahui menghibahkan anggaran puluhan miliar rupiah kepada instansi penegak hukum dan instansi pendidikan yang sejatinya berada di bawah kewenangan pemerintah pusat—instansi yang notabene sudah memiliki anggaran besar dari APBN.
“Ketika untuk instansi yang punya anggaran, malah all out memberikan dana hibah sampai puluhan miliar. Tapi ketika rakyat sedang dalam kondisi darurat, justru sibuk menggalang pakaian bekas,” ujar Misrul.
Ia menyebut bahwa langkah seperti itu tidak hanya menunjukkan ketidakpekaan, tetapi juga ketidakmampuan membaca prioritas kebijakan yang benar. Baginya, ini adalah contoh paling nyata dari keputusan publik yang tidak sejalan dengan rasa kemanusiaan.
Misrul meminta masyarakat menilai sendiri bagaimana pemerintah daerah tersebut mengelola sumber daya. Ia mengajak publik membandingkan dua kebijakan itu secara objektif:
Di satu sisi, puluhan miliar rupiah diberikan kepada organ negara yang sudah memiliki anggaran besar.
Di sisi lain, korban bencana yang kehilangan rumah, pakaian, makanan, hingga rasa aman malah hanya diberikan harapan bantuan pakaian bekas yang dikumpulkan sukarela.
“Coba lihat, warga Sumatera di pengungsian sedang kedinginan, kelaparan, cemas, dan membutuhkan logistik dasar. Tapi bantuan yang dikirim justru pakaian bekas,” tegasnya.
Menurut Misrul, bencana sebesar banjir bandang Sumatera seharusnya menjadi momentum bagi para pemimpin daerah untuk hadir secara penuh, mengutamakan bantuan yang relevan, cepat, dan bermartabat. Ia menilai tindakan wali kota itu justru menunjukkan ketidakseriusan dalam memahami kondisi darurat.
Ia menekankan bahwa kepala daerah memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, terutama saat bencana, tidak sekadar menjadi pencitraan tetapi benar-benar membantu masyarakat.
“Ini bukan soal bantuan apa adanya. Ini soal empati, kepemimpinan, dan kepekaan terhadap penderitaan rakyat,” ujarnya.
Polemik ini kini menjadi sorotan nasional, memunculkan diskusi luas tentang sensitivitas pemimpin daerah, penggunaan dana daerah, serta standar moral pejabat publik dalam menangani krisis. Banyak analis menyebut polemik ini dapat menjadi evaluasi penting untuk memastikan tata kelola bantuan bencana lebih manusiawi, lebih efektif, dan tidak lagi memalukan.
Di tengah derita para penyintas banjir bandang Sumatera, kritik ini menjadi pengingat bahwa kebijakan yang salah arah dapat memper buruk luka yang sudah dalam. masyarakat kini menunggu, apakah sang wali kota akan mengevaluasi kebijakan tersebut atau justru terus bergeming di tengah kritik deras yang datang bertubi-tubi.***














