MAJALAH NARASI- Gelombang kritik terhadap Pemerintah Kota Bandar Lampung kembali mencuat setelah penggiat publik Abdullah Sani melaporkan dugaan pelanggaran hukum terkait penyelenggaraan SMA Siger ke Polda Lampung pada September 2025 lalu. Laporan ini bukan sekadar aduan biasa, melainkan membuka kembali lembaran lama yang melibatkan nama besar Wali Kota Eva Dwiana, Kadisdikbud Kota Eka Afriana, hingga DPRD Kota Bandar Lampung.
Fakta lama yang terungkap memperlihatkan bahwa sejak Juli 2025, DPRD Provinsi Lampung sebenarnya telah memberi peringatan kepada Pemkot dan DPRD Kota terkait kejanggalan dalam penyelenggaraan SMA Siger. Permasalahan utama terletak pada penggunaan aset negara yang hingga kini belum memiliki kejelasan status administrasi pinjam-pakai. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah proyek pendidikan ini benar-benar untuk rakyat, atau sekadar menjadi alat kepentingan politik dan pribadi tertentu?
Menurut laporan LE News.id, Abdullah Sani tidak sendirian dalam perjuangannya. Penggiat sosial Andika Wibawa juga sebelumnya menyoroti kasus yang disebutnya sebagai “skandal SMA hantu”. Ia menegaskan bahwa tindakan penyelenggaraan sekolah tanpa izin resmi berpotensi merugikan siswa, terutama dalam hak mereka untuk memperoleh ijazah yang sah. “Jangan sampai anak-anak sudah sekolah, tapi ijazahnya tidak bisa diterbitkan. Itu merugikan hak mereka,” tegas Andika pada 11 Juli 2025.
Kritik juga datang dari berbagai pihak di tingkat politik. Ketua DPW PKS Lampung, Ade Utami Ibnu, menilai kebijakan Pemkot justru tidak berpihak pada keadilan pendidikan. Ia menyoroti adanya indikasi Pemkot dan DPRD Bandar Lampung menggunakan dalih membantu warga pra sejahtera untuk menutupi konflik kepentingan yang berpotensi menguras APBD tanpa memperhatikan sekolah-sekolah swasta yang sudah lama berdiri. “Kalau memang untuk rakyat dan gratis, kenapa tidak membantu sekolah swasta yang sudah ada? Banyak sekolah swasta yang kekurangan murid dan guru yang tidak kebagian jam mengajar,” ujar Ade Utami saat diwawancarai Axelerasi.id pada 14 Juli 2025.
Ade juga mengingatkan bahwa setiap sekolah baru wajib mengantongi izin sebelum melakukan rekrutmen siswa. “Sekolah swasta saja wajib punya izin dulu sebelum menerima murid. Jadi kalau pemerintah belum punya izin tapi sudah operasional, itu jelas menyalahi aturan,” tegasnya.
Namun kenyataannya, SMA Siger tetap beroperasi hingga kini tanpa legalitas yang sah. Keberadaan sekolah tersebut seolah menyepelekan otoritas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Padahal, menurut Danny Waluyo Jati—pegawai bidang pelayanan SMA Disdikbud Bandar Lampung—izin operasional sekolah hanya bisa diterbitkan jika pemiliknya telah memiliki administrasi lengkap dari Kadis Dikbud Provinsi dan Kadis DPSTMP Provinsi.
Lebih jauh, Danny menegaskan bahwa pendirian sekolah baru harus berbasis pada aset yayasan, bukan milik pribadi atau pemerintah. “Sekolah harus berdiri di atas aset yang jelas, atas nama yayasan, bukan perseorangan atau pemda,” katanya. Hal ini bertolak belakang dengan kebijakan Wali Kota Eva Dwiana yang diketahui telah mengalihfungsikan Terminal Panjang menjadi gedung SMA Siger.
Keputusan itu menimbulkan pertanyaan serius: apakah aset negara tersebut akan berpindah tangan menjadi milik pribadi Dr. Khaidarmansyah, Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda? Jika benar demikian, maka Pemkot berpotensi terjerat pelanggaran serius atas penyalahgunaan aset publik.
Kisah ini tidak hanya menyoroti masalah administrasi, tetapi juga menguak potensi konflik kepentingan antara pejabat publik dan kepentingan pribadi. Kasus ini kini menjadi sorotan masyarakat luas, menunggu tindak lanjut dari aparat penegak hukum. Masyarakat berharap agar kepolisian dan lembaga pengawas segera turun tangan untuk memastikan tidak ada lagi praktik penyalahgunaan kekuasaan di balik dalih pembangunan pendidikan gratis bagi rakyat kecil.***














