MAJALAH NARASI – Dunia pendidikan di Lampung kembali diguncang polemik. Sebuah ironi mencuat dari SMP Negeri 38 Bandar Lampung atau yang dikenal dengan nama Sekolah Siger 1, setelah seorang guru berinisial BH, yang juga ASN, memberikan pernyataan kontroversial. Alih-alih mengkritisi persoalan serius, BH justru membela sekolah bermasalah tersebut, meski berisiko besar terhadap masa depan para murid.
Kasus ini terungkap pada Selasa, 30 September 2025 sekitar pukul 15.30 WIB. Dalam keterangannya, BH menyebut bahwa Sekolah Siger adalah lembaga yang baik karena dianggap membantu warga kurang mampu. Pernyataan ini sontak menimbulkan pertanyaan besar: apakah seorang tenaga pendidik boleh begitu saja mengabaikan regulasi hanya demi narasi “membantu” tanpa dasar hukum yang jelas?
Fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Sekolah Siger 1 ternyata belum memiliki izin resmi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lebih fatal lagi, sekolah ini tidak tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Artinya, para siswa yang menimba ilmu di sana terancam tidak mendapatkan ijazah resmi yang diakui negara. Bayangkan, bertahun-tahun bersekolah bisa berujung sia-sia hanya karena kelalaian pengelola dan pembiaran regulasi.
Ironi semakin kentara ketika BH sebagai guru tidak memahami bahwa regulasi secara tegas melarang penggunaan aset negara oleh pihak swasta tanpa prosedur hukum dan administrasi yang sah. Ada indikasi kuat bahwa Plh Kepala Sekolah Siger 1 dan BPKAD terkait berperan dalam dugaan penggelapan aset negara, bahkan berpotensi menjadi penadah barang hasil penggelapan tersebut. Namun, alih-alih mengkritisi, BH justru menyampaikan pembelaan tanpa dasar yang logis.
Lebih mengkhawatirkan lagi, pembelaan BH bisa memberi contoh buruk bagi murid-muridnya. Bagaimana jika kemudian siswa menelan mentah-mentah pernyataan gurunya dan menganggap bahwa sebuah pelanggaran bisa dimaklumi dengan alasan “berbuat baik”? Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menciptakan generasi yang permisif terhadap pelanggaran hukum dan aturan.
Publik menilai bahwa pembelaan BH adalah bentuk ketidakpahaman mendasar terhadap tugas guru, yang seharusnya tidak hanya mengajar tetapi juga menanamkan nilai moral, etika, dan kepatuhan terhadap hukum. Pernyataannya bahkan diibaratkan sama menyesatkannya seperti membela seorang terpidana korupsi hanya karena alasan pribadi atau kebutuhan keluarga.
Persoalan ini membuka mata bahwa ada masalah serius dalam pengawasan dunia pendidikan di Lampung. Regulasi yang jelas sering kali diabaikan, dan lebih ironis lagi, pelanggaran justru dibela oleh mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas pendidikan. Jika dibiarkan, sekolah-sekolah semacam Siger akan terus tumbuh liar tanpa kepastian hukum, sementara generasi muda menjadi korban terbesar karena terancam tidak mendapatkan hak pendidikan formal yang sah.
Kasus Sekolah Siger 1 ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, hingga aparat penegak hukum untuk bertindak tegas. Tidak hanya soal penyelesaian administrasi, tetapi juga menyelidiki indikasi penggelapan aset negara yang disebut melibatkan pejabat terkait. Tanpa langkah tegas, masa depan pendidikan di Lampung bisa terus digerogoti praktik-praktik ilegal yang merugikan masyarakat.***














