MAJALAH NARASI— Polemik anggaran kembali menghebohkan dunia pendidikan di Provinsi Lampung. Pemerintah pusat resmi memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Lampung sebesar Rp580 miliar untuk tahun 2026, Rabu, 8 Oktober 2025. Pemangkasan ini disampaikan Menteri Keuangan Purbaya dengan alasan serapan anggaran daerah yang dinilai kurang maksimal.
Namun, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa pemerintah provinsi tidak mampu memaksimalkan penyerapan TKD, sementara kebutuhan mendesak di sektor pendidikan tetap tinggi? Fakta yang lebih membingungkan lagi, banyak sekolah swasta—SMA dan SMK—yang merupakan bagian dari sektor pelayanan dasar justru tidak mendapatkan bantuan operasional seperti BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah).
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menegaskan bahwa untuk tahun 2025, BOSDA hanya dialokasikan bagi sekolah negeri. “Tahun ini alhamdulillah masih ada BOSDA, tapi hanya untuk negeri saja. Keuangan daerah kita terbatas, jadi prioritas diberikan kepada sekolah negeri,” ujar Thomas saat ditemui di Tubaba, Selasa (9/9/2025). Ia menambahkan bahwa untuk tahun 2026, sekolah swasta juga tidak akan menerima BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) dari APBD.
Situasi ini memicu kebingungan dan kekhawatiran masyarakat pendidikan di Lampung. Sekolah swasta selama ini menanggung beban operasional pendidikan, termasuk gaji guru dan biaya kegiatan belajar-mengajar, tanpa dukungan penuh dari pemerintah daerah. Sementara sekolah negeri mendapatkan prioritas anggaran, sekolah swasta justru tersisih.
Dampak dari pemangkasan TKD ini juga tidak bisa dianggap remeh. Pengurangan Rp580 miliar diyakini akan memengaruhi banyak sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur dasar. Khususnya di bidang pendidikan, pemangkasan ini diprediksi akan menambah kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta dalam hal kualitas layanan, fasilitas, serta kesempatan belajar siswa.
Para pakar pendidikan menilai, pemerintah daerah seharusnya lebih proaktif dalam menyerap anggaran yang tersedia agar seluruh sektor, termasuk sekolah swasta, bisa merasakan manfaatnya. “Seharusnya ada mekanisme yang lebih fleksibel sehingga BOSDA bisa menjangkau sekolah swasta, karena mereka juga menjalankan kewajiban pelayanan dasar pendidikan,” kata seorang analis kebijakan pendidikan di Lampung.
Kasus ini menjadi cerminan tantangan serius dalam pengelolaan keuangan daerah. Serapan anggaran yang rendah bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga menyentuh persoalan prioritas dan keadilan sosial. Sementara pusat memangkas TKD karena serapan kurang maksimal, kenyataannya masih banyak sekolah yang membutuhkan dukungan dana untuk operasional dan peningkatan kualitas pendidikan.
Warga dan pihak sekolah berharap pemerintah provinsi dapat segera merumuskan solusi, seperti meningkatkan koordinasi dengan sekolah swasta, mempercepat pencairan BOSDA, atau mencari alternatif pendanaan agar pemangkasan TKD tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas pendidikan di Lampung.***














