MAJALAH NARASI- Polemik mengenai SMA Siger Bandar Lampung semakin tajam dan menjadi sorotan publik setelah DPRD Kota Bandar Lampung secara tegas menggagalkan anggaran miliaran rupiah yang sebelumnya masuk dalam rancangan APBD 2026. Fakta demi fakta menunjukkan bahwa sekolah tersebut ternyata belum mengantongi izin resmi, sementara yayasan pengelolanya berada di bawah kendali sejumlah pejabat aktif. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi, etika, dan legalitas dalam pengelolaan dana pendidikan.
Awalnya, SMA Siger disanjung sebagai sekolah swasta yang akan memberikan pendidikan gratis bagi warga pra-sejahtera. Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana bahkan secara terbuka menyatakan bahwa Pemkot siap menanggung seluruh biaya pendidikan siswa di sekolah tersebut. Pernyataan ini memunculkan anggapan bahwa dana APBD akan mengalir ke SMA Siger melalui Yayasan Siger Prakarsa Bunda, sebuah yayasan yang ternyata dikelola oleh pejabat aktif di lingkungan pemerintah kota.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kabid Anggaran BKAD dan Kabid Dikdas Disdikbud yang menyampaikan bahwa anggaran untuk SMA Siger memang telah masuk dalam pembahasan rancangan APBD dan tinggal menunggu finalisasi. Namun, publik kemudian menemukan hal yang jauh lebih mengejutkan: pemilik dan pengelola yayasan adalah sejumlah pejabat aktif Pemkot, termasuk Plt Kadisdikbud dan Asisten Setda Kota Bandar Lampung Eka Afriana, eks Kepala Bappeda Khaidarmansyah, serta Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud Satria Utama.
Identitas pengelola yayasan yang berasal dari unsur pejabat aktif semakin memperkuat dugaan adanya konflik kepentingan. Situasi ini memicu kecurigaan publik bahwa pengajuan anggaran bisa jadi memiliki kepentingan tertentu di balik layar.
Ketika isu ini semakin mencuat, DPRD Kota Bandar Lampung, khususnya Komisi IV, segera merespons. Pada 8 Desember 2025, anggota Komisi IV dari Partai Gerindra, Mayang Suri Djausal, menyatakan bahwa pihaknya menolak menyetujui anggaran untuk SMA Siger. Alasan utama penolakan adalah legalitas sekolah yang masih belum jelas.
Belum cukup sampai di situ, Ketua Komisi IV, Asroni Paslah, menjelaskan lebih detail bahwa anggaran sekitar 1,35 miliar rupiah yang semula diajukan untuk SMA Siger langsung dicoret. Dana tersebut kemudian dialihkan sepenuhnya untuk memperkuat BOSDA, mengingat kebutuhan pendidikan dasar di kota tersebut jauh lebih mendesak.
Asroni mengungkapkan bahwa dana BOSDA yang hanya sekitar 6,5 miliar rupiah tidak cukup untuk menggratiskan biaya komite siswa tingkat TK, SD, dan SMP, terutama bagi sekolah besar seperti SMP Negeri 2 Bandar Lampung yang memiliki kebutuhan operasional mencapai 2,5 juta rupiah per siswa per tahun. Dengan BOSDA hanya mampu menyumbang sekitar 195 ribu rupiah per siswa, DPRD menilai tidak masuk akal jika anggaran justru diarahkan ke SMA swasta yang bahkan belum berizin.
Di tengah meningkatnya kritik publik, muncul keluhan terkait pembayaran honor guru-guru SMA Siger yang belum diterima selama empat bulan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa operasional sekolah selama ini mungkin bergantung pada dana yang tidak memiliki dasar legal yang kuat. Ketika diminta klarifikasi, Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda, Khaidarmansyah, enggan memberikan penjelasan dan meminta media mengonfirmasi kepada Dinas Pendidikan. Sekretaris yayasan, Satria Utama, juga tidak memberikan tanggapan meski telah dua kali dimintai klarifikasi.
Sementara itu, Plt Kadisdikbud yang juga merupakan pendiri yayasan terpantau sedang menjalankan kegiatan dinas lain dan tidak memberikan pernyataan terkait polemik tersebut. Kurangnya transparansi ini semakin menambah kecurigaan, terlebih setelah publik mengetahui bahwa SMA Siger belum mengajukan permohonan izin pendirian kepada DPMPTSP Provinsi Lampung.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Americo, menegaskan bahwa SMA Siger belum memenuhi syarat administratif untuk beroperasi sebagai sekolah jenjang SMA. Hal ini diperkuat dengan keterangan tertulis dari Kepala DPMPTSP Provinsi Lampung yang menyatakan pihaknya tidak pernah menerima permohonan apa pun dari Yayasan Siger Prakarsa Bunda.
Lebih jauh lagi, SMA Siger diketahui tidak memiliki aset berupa bangunan atau tanah milik sendiri. Untuk menjalankan kegiatan belajar-mengajar, yayasan menggunakan gedung milik negara, yaitu SMPN 38 dan SMPN 44 Bandar Lampung. Penggunaan aset negara oleh lembaga swasta tanpa izin resmi menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar hukum dan etika pemanfaatannya. Publik bertanya-tanya: bolehkah yayasan swasta menggunakan fasilitas negara tanpa izin lengkap?
Keseriusan masalah ini semakin meningkat ketika seorang warga melaporkan SMA Siger ke Ditreskrimsus Polda Lampung. Laporan tersebut menggunakan dasar UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, yang memberikan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah bagi penyelenggara pendidikan yang beroperasi tanpa izin resmi.
Situasi ini menjadi perhatian DPRD yang khawatir kasus ini akan berkembang seperti polemik dana hibah Kejati Lampung yang sempat mencuat hingga ke tingkat nasional. Bahkan beberapa organisasi kepemudaan turun ke jalan dan melaporkan temuan tersebut kepada Kejaksaan Agung.
Dengan semakin banyaknya fakta yang terungkap, publik kini menanti langkah tegas dari Pemkot Bandar Lampung, Dinas Pendidikan, dan aparat penegak hukum. Apakah yayasan akan segera melengkapi izin? Apakah dana APBD sempat mengalir diam-diam? Dan bagaimana nasib guru serta siswa SMA Siger ke depan?
Polemik ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda, dan masyarakat Lampung kini terus menunggu kejelasan serta transparansi penuh dari pihak-pihak terkait.***














