MAJALAH NARASI- Puisi “Belajar Patuh Pada Bangku Goyah” karya penyair muda asal Kota Bandar Lampung menghadirkan kritik sosial terhadap dunia pendidikan yang dinilai sarat paradoks, terutama terkait praktik disiplin dan kepatuhan institusional. Karya ini menyoroti ironi ketika sekolah menuntut ketaatan peserta didik, namun justru memperlihatkan ketidakpatuhan pada level kebijakan dan struktur kekuasaan.
Puisi tersebut dibangun dari pengalaman kolektif tentang sekolah sebagai ruang pembentukan karakter. Pada bagian awal, penyair menggambarkan disiplin sebagai doktrin utama yang selalu ditanamkan sejak hari pertama siswa menginjak bangku pendidikan. Rambut harus rapi, kaos kaki harus sesuai, hingga cara berjalan dan makan pun diatur. Gambaran ini merefleksikan sekolah sebagai institusi yang mengontrol tubuh dan perilaku siswa secara ketat demi keteraturan.
Namun, narasi puisi mulai berubah ketika penyair menghadirkan kontras tajam antara ajaran dan praktik. Melalui larik yang lugas, ia menyebut adanya sekolah di Bandar Lampung yang justru tidak patuh terhadap aturan. Ketidakpatuhan ini bukan dilakukan oleh siswa, melainkan oleh institusi pendidikan itu sendiri. Di sinilah kritik sosial puisi bekerja: aturan yang selama ini bersifat satu arah ternyata tidak berlaku timbal balik.
Penyair kemudian menelusuri penyebab ketimpangan tersebut dengan menyebut arogansi sebagai akar persoalan. Arogansi dimaknai sebagai sikap kuasa yang merasa berada di atas hukum dan regulasi. Puisi ini bahkan menyentuh wilayah hukum dengan menyebut sekolah tersebut sebagai pusat investigasi, menandakan bahwa persoalan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari akuntabilitas publik dan transparansi kebijakan.
Keberanian puisi ini semakin terlihat pada bagian akhir ketika penyair secara eksplisit menyebut nama sekolah dan tokoh publik yang terlibat dalam pendiriannya. Penyebutan ini menjadikan puisi tidak lagi sekadar refleksi abstrak, melainkan pernyataan sikap yang jelas dan terbuka. Strategi ini memperkuat posisi puisi sebagai kritik langsung terhadap praktik kekuasaan di ranah pendidikan.
Secara estetika, puisi ini menggunakan bahasa sederhana dan struktur larik pendek. Pilihan gaya tersebut memberi kesan dokumentatif, seolah pembaca sedang membaca catatan peristiwa atau laporan sosial. Kesederhanaan ini justru memperkuat pesan kritik, karena pembaca diajak memahami persoalan tanpa distraksi bahasa yang berlebihan.
“Belajar Patuh Pada Bangku Goyah” menegaskan bahwa disiplin tidak seharusnya hanya dibebankan kepada siswa. Institusi pendidikan, termasuk pengambil kebijakan di baliknya, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memberi teladan. Melalui puisi ini, penyair menghadirkan sastra sebagai medium kontrol sosial, sekaligus pengingat bahwa pendidikan yang adil harus berdiri di atas fondasi kepatuhan yang utuh dan konsisten.













