MAJALAH NARASI- Sidang praperadilan Direktur Utama PT Lampung Energi Berjaya (LEB), M. Hermawan Eriadi, kembali digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang pada Minggu (1/12). Memasuki hari kedua, rangkaian sidang yang diawasi hakim tunggal Muhammad Hibrian itu berfokus pada penyerahan bukti, baik dari pihak pemohon maupun termohon, yaitu Kejaksaan Tinggi Lampung. Namun di balik jalannya sidang yang singkat dan formal itu, ada pertanyaan besar yang terus menggantung: apa sebenarnya perbuatan pidana yang dituduhkan kepada direksi dan komisaris PT LEB?
Sejak Jumat, sidang telah diwarnai dinamika tajam antara kuasa hukum pemohon dan pihak Kejaksaan. Kuasa hukum Dirut LEB, Riki Martim, menilai kalau sidang sudah berlangsung dua hari, tetapi gambaran mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) yang dituduhkan masih jauh dari jelas. “Masih misterius,” ujarnya. Tidak hanya perbuatan yang dianggap kabur, tetapi nilai kerugian negara yang disebut-sebut menjadi dasar hukum perkara ini pun belum pernah diungkap.
Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Rudi mewakili Kejaksaan menyampaikan bahwa pihaknya tidak berkewajiban menjelaskan secara rinci apa perbuatan yang disangkakan. Menurutnya, penjelasan terperinci baru akan disampaikan pada tahap penuntutan nantinya. Ia menegaskan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sudah cukup menjadi dasar penetapan tersangka.
Pernyataan itu langsung dipatahkan oleh kuasa hukum pemohon. Riki menyebut bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 jelas mengatur bahwa penetapan tersangka wajib didahului dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka, agar yang bersangkutan mengetahui apa perbuatan yang disangkakan dan bisa memberikan pembelaan. Hal itu, kata Riki, merupakan bagian dari perlindungan hak konstitusional dan asas due process of law.
Jika tuduhan baru dijelaskan di persidangan inti, menurut Riki, tersangka tidak punya waktu yang cukup untuk menyiapkan pembelaan. “Kejaksaan punya satu tahun lebih untuk menyidik dan melakukan penyitaan. Tapi klien kami hanya punya waktu singkat kalau baru tahu tuduhan di persidangan,” ujarnya.
Selain itu, dalam jawaban setebal 16 halaman yang diserahkan Kejaksaan, kuasa hukum pemohon mencatat tidak ada satu pun uraian detail mengenai:
Perbuatan apa yang dianggap melanggar hukum,
Hubungan perbuatan tersebut dengan kerugian negara,
Cara unsur Pasal 2 dan 3 Tipikor dipenuhi.
Padahal menurut putusan MK 21/2014, penetapan tersangka harus menyebutkan perbuatan yang disangkakan dan alat buktinya secara jelas. Menurut Riki, Kejaksaan hanya menyebut keberadaan saksi, ahli, dan surat, tetapi tak ada satu kalimat pun yang menjelaskan kaitan alat bukti tersebut dengan perbuatan pemohon. Hal ini diperkuat oleh yurisprudensi MA No. 42 PK/Pid.Sus/2018, yang mengharuskan alat bukti berkorelasi langsung dengan dugaan tindakan kriminal.
Salah satu titik paling krusial dari perkara ini adalah kerugian negara. Sampai hari kedua sidang, angka kerugian negara belum pernah disampaikan Kejaksaan. Bahkan, BPKP yang biasanya menjadi lembaga yang menghitung kerugian negara juga tidak disebutkan keterlibatannya dalam memberikan audit resmi. Tanpa jumlah kerugian negara yang jelas, Riki menilai dakwaan Tipikor tidak bisa berdiri.
Ia mengutip UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara serta putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa kerugian negara harus nyata dan pasti (actual loss), bukan sebatas potensi kerugian. Artinya, tidak cukup hanya menyebut kemungkinan kerugian—harus ada bukti kerugian yang benar-benar terjadi dan bisa diukur.
Sidang esok hari dijadwalkan melanjutkan penyerahan bukti. Namun hingga kini, publik dan pengamat hukum masih menunggu apakah Kejaksaan akan membuka secara terperinci dugaan perbuatan melawan hukum direksi dan komisaris PT LEB. Tanpa kejelasan, proses praperadilan ini justru semakin memperlebar tanda tanya: apakah kasus ini berdiri di atas fondasi hukum yang kuat atau hanya menjadi kontroversi baru dalam penegakan hukum di Lampung?***














