MAJALAH NARASI – Dalam lanskap sastra modern, puisi tidak lagi dibatasi oleh aturan klasik tentang rima dan irama. Ia kini menjadi medium ekspresi bebas bagi penyair untuk menyalurkan keresahan sosial, kritik politik, dan refleksi moral yang lahir dari realitas zamannya. Salah satu bentuk ekspresi yang menonjol adalah realisme satir, di mana kejujuran terhadap realitas dikombinasikan dengan sindiran tajam terhadap kekuasaan atau kebijakan yang menindas rakyat.
Puisi berjudul “Administrasi Kesedihan” karya Muhammad Alfariezie, penyair asal Bandar Lampung, merupakan contoh nyata dari realisme satir yang lahir dari konteks lokal namun merefleksikan problem universal: penyalahgunaan kekuasaan dan kemandegan birokrasi yang menimbulkan luka sosial.
Administrasi Kesedihan
Bandar Lampung menyedihkan
bukan karena kaum pelangi
atau menyandang pembenci rapi
dan bersih tapi karena wali kotanya
Menjadikan bunda ancaman
masa depan remaja pra sejahtera!
Menjadikan miliaran rupiah
tumpukan kertas tanpa guna!
2025
Dalam bait-bait pendeknya, Alfariezie menghadirkan potret getir sebuah kota yang seharusnya menjadi tempat kemajuan, namun justru menjadi ladang ironi akibat kebijakan yang menekan masyarakat kecil. Baris “bukan karena kaum pelangi atau menyandang pembenci rapi dan bersih tapi karena wali kotanya” menjadi semacam pintu kritik yang menohok, mengalihkan sorot dari kelompok sosial tertentu ke pemimpin yang kehilangan empati dan nurani.
Realisme Satir dalam Konteks Teori Sastra
Dari perspektif teori sastra, puisi ini dapat dianalisis menggunakan pendekatan realisme satir. Menurut György Lukács, realisme berupaya menyingkap kontradiksi sosial secara jujur, sementara Jonathan Swift dan George Orwell menunjukkan bagaimana satire dapat menyoroti kekuasaan tanpa kehilangan estetika. Dalam konteks ini, bahasa lugas dan ironi yang digunakan Alfariezie menjadi senjata moral, menggugat kebijakan pemerintah kota yang menindas masyarakat pra sejahtera.
Analisis: Simbol, Ironi, dan Luka Sosial
- Ironi Kepemimpinan dan Dekonstruksi Moral
 Baris “Menjadikan bunda ancaman masa depan remaja pra sejahtera!” mengandung simbolisasi kuat. Kata “bunda” yang biasanya melambangkan perlindungan, dalam puisi ini justru menjadi representasi kekuasaan yang menakutkan. Dalam teori dekonstruksi moral, penyair memutarbalikkan nilai keibuan untuk mengkritik sistem kepemimpinan yang kehilangan rasa kemanusiaan.
- Tumpukan Kertas sebagai Simbol Kemandegan Birokrasi
 “Menjadikan miliaran rupiah, tumpukan kertas tanpa guna!” menjadi metafora cerdas bagi birokrasi yang gemuk namun mandul. Uang publik dan dokumen yang menumpuk menjadi simbol ketiadaan aksi nyata, selaras dengan kritik Karl Marx tentang alienasi sosial di mana materi menguasai manusia, bukan sebaliknya.
- Satire sebagai Perlawanan Estetis
 Menurut Mikhail Bakhtin, satire merupakan dialog sosial antara penguasa dan yang tertindas. Alfariezie menggunakan ironi dan permainan makna untuk memberikan ruang bagi suara rakyat kecil. Puisi ini tidak menjerit dengan amarah, melainkan menohok dengan diam yang tajam, menghadirkan bentuk perlawanan estetis terhadap kesewenang-wenangan.
Makna Sosial dan Kesadaran Kritis
Puisi ini lahir dari konteks sosial di mana kebijakan publik sering kali dibungkus jargon moral, namun minim implementasi empatik. Alfariezie mengajak pembaca merenungkan arti kepemimpinan yang sejati. Ia menekankan bahwa kesedihan kota bukan akibat warganya, tetapi karena penguasa yang abai terhadap nurani. “Bandar Lampung menyedihkan bukan karena rakyatnya, tapi karena penguasa yang lupa arah,” tulis penyair sebagai interpretasi bebas.
Puisi ini menjadi cermin sosial di mana masyarakat dapat menatap wajah kotanya sendiri: apakah masih memiliki daya untuk bertindak atau diam di tengah ketidakadilan yang dianggap biasa.
Kesimpulan: Puisi sebagai Alat Kesadaran Politik dan Moral
“Administrasi Kesedihan” menegaskan bahwa sastra bukan sekadar seni kata, tetapi sarana kesadaran kritis. Bahasa puitik digunakan untuk menggugat, bukan memuja; ironinya membuka mata publik bahwa kebijakan yang salah arah bisa menimbulkan luka sosial berkepanjangan. Karya Alfariezie menjadi contoh sastra keterlibatan, di mana penyair turun langsung ke ranah kritik sosial, mengguncang hati dan pikiran pembaca, serta meninggalkan pesan jujur: kota yang menyedihkan bukanlah kota tanpa gedung, melainkan kota tanpa nurani.***
 
	    	 
                                






 
							






