MAJALAH NARASI— Lebih dari satu tahun sudah Kejaksaan Tinggi Lampung melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB). Proses hukum yang panjang ini menarik perhatian publik karena melibatkan lebih dari 60 saksi, mulai dari mantan Gubernur Lampung hingga seorang penjual siomay. Namun, dari serangkaian pemeriksaan tersebut, satu pertanyaan besar masih menggantung: berapa sebenarnya kerugian negara dalam kasus ini?
Yang mencengangkan, hingga kini pihak Kejaksaan belum pernah mengumumkan secara resmi jumlah kerugian negara (KN). Armen, Asisten Pidana Khusus Kejati Lampung, hanya menyebutkan bahwa terdapat kerugian negara, namun tidak menjelaskan berapa nilainya. Hal ini terbilang janggal, sebab dalam hampir semua kasus korupsi, angka kerugian negara biasanya menjadi pijakan utama untuk menetapkan tersangka. Dalam kasus PT LEB, perhitungan tersebut justru belum tuntas meski penyidikan sudah berjalan selama setahun penuh.
Kondisi ini memunculkan berbagai spekulasi. Apakah memang sulit menghitung kerugian negara dalam kasus ini, atau ada faktor lain yang membuat Kejaksaan enggan mengungkapkannya ke publik? Bila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara adalah kerugian yang nyata dan pasti akibat perbuatan melawan hukum. Namun, dalam konteks pengelolaan PI 10% migas, perhitungan tersebut memang tidak sederhana.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan dikabarkan beberapa kali menolak permintaan Kejaksaan untuk menetapkan adanya kerugian negara, karena pendapatan dari PI 10% merupakan hasil usaha yang sah sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016. BPKP menilai bahwa dana tersebut bukan termasuk Dana Bagi Hasil Migas yang wajib disetorkan ke kas daerah, melainkan pendapatan perusahaan yang dikelola sesuai ketentuan hukum dan mekanisme korporasi.
Sumber internal menyebut, beberapa kali Kejaksaan datang ke BPKP dengan membawa konsep perhitungan sendiri, namun selalu pulang tanpa hasil. BPKP menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam laporan keuangan PT LEB, karena semua kegiatan perusahaan sudah sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan diaudit secara rutin. Bahkan, pada Desember 2024, Kejaksaan sempat melakukan penyitaan terhadap uang dolar Amerika sebesar 1,4 juta dolar AS milik PT LEB dengan dalih tidak tercatat dalam laporan keuangan. Setelah diverifikasi, ternyata dana tersebut justru sudah tercantum dalam laporan keuangan yang diaudit dan dijelaskan secara rinci di Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Isu yang sempat ramai itu akhirnya tenggelam tanpa penjelasan lanjutan.
Publik pun mulai bertanya-tanya: apakah Kejaksaan benar-benar keliru dalam membaca laporan keuangan, atau ada motif lain di balik tindakan penyitaan tersebut? Beberapa pengamat menilai, langkah Kejaksaan yang terburu-buru mengumumkan penyitaan justru menimbulkan kesan bahwa kasus ini dikelola dengan motif politis, bukan semata-mata penegakan hukum.
Isu lain yang tak kalah kontroversial adalah kabar bahwa potensi kerugian negara mencapai 200 miliar rupiah. Angka fantastis ini beredar di ruang publik tanpa dasar yang jelas. Jika Kejaksaan menganggap PT LEB tidak berhak atas pengelolaan PI 10%, maka seluruh pendapatan perusahaan sebesar 271 miliar rupiah dianggap ilegal. Namun, langkah ini berpotensi menimbulkan konflik hukum dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas, karena pemberian hak PI 10% kepada PT LEB sudah mendapat persetujuan resmi dari pemerintah pusat.
Faktanya, menurut hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT LEB Tahun Buku 2022 yang dikutip dari akta notaris, perusahaan telah menetapkan dan menyalurkan dividen sebesar 214,8 miliar rupiah kepada pemegang saham, yakni PT LJU (BUMD Provinsi Lampung) dan PDAM Way Guruh (BUMD Kabupaten Lampung Timur). Sisa dana sekitar 56 miliar rupiah digunakan untuk biaya operasional perusahaan, gaji, dan cadangan dana tahun berikutnya. Semua alokasi dana ini telah melalui proses audit oleh Kantor Akuntan Publik serta disetujui oleh para pemegang saham.
Dengan kondisi demikian, publik semakin sulit memahami di mana sebenarnya letak kerugian negara yang dimaksud. Jika seluruh kegiatan keuangan telah diaudit, dana dividen sudah disalurkan ke BUMD milik pemerintah daerah, dan izin pengelolaan PI 10% dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, maka dasar hukum penetapan tersangka dalam kasus ini menjadi tanda tanya besar.
Pertanyaan publik pun semakin menguat: apakah Kejaksaan benar-benar memiliki bukti yang kuat mengenai adanya perbuatan melawan hukum, atau kasus ini hanya bentuk “penegakan hukum simbolik” demi pencitraan institusi? Hingga kini, Kejaksaan belum memberikan keterangan resmi mengenai hasil akhir perhitungan kerugian negara yang konon diserahkan kembali ke BPKP pada pertengahan 2025.
Jika perhitungan itu nantinya tetap tidak menemukan angka pasti, bukan tidak mungkin kasus ini akan kembali menimbulkan gelombang kritik dan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum. Masyarakat Lampung kini menunggu dengan penuh tanda tanya: apakah kasus PI 10% PT LEB akan benar-benar mengungkap kebenaran, atau justru menjadi catatan lain dari drama panjang penegakan hukum di negeri ini?***
 
	    	 
                                






 
							






