MAJALAH NARASI– Kontroversi SMA Swasta Siger yang digagas Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, semakin memanas. Sekolah yang kini dijuluki publik sebagai “The Killer Policy” ini beroperasi tanpa izin resmi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, menimbulkan pertanyaan besar: Haruskah Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk menuntaskan skandal pendidikan di tingkat kota ini?
Fakta di lapangan menunjukkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung belum melakukan pengecekan menyeluruh terkait keberadaan SMA Siger, meski lembaga ini sudah dikenal luas. Hal ini memicu keprihatinan para praktisi pendidikan dan masyarakat, mengingat kualitas dan legalitas lembaga pendidikan seharusnya menjadi prioritas pemerintah.
DPRD Provinsi Lampung juga terkesan abai. Ratusan kepala sekolah swasta telah melaporkan keberadaan SMA Siger dalam rapat dengar pendapat beberapa hari sebelum pembukaan penerimaan murid baru, namun tidak ada tindak lanjut yang nyata. Bahkan DPRD Kota Bandar Lampung terlihat memberikan jalan bagi operasional sekolah ilegal ini dengan seolah membuka “karpet merah” untuk penyelenggaraan yang berpotensi merugikan remaja pra-sejahtera di kota tersebut.
Kegiatan belajar-mengajar SMA Siger saat ini berlangsung di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Kota Bandar Lampung karena belum memiliki aset berupa tanah dan bangunan sendiri. Padahal, berdasarkan ketentuan perizinan, sebuah sekolah swasta minimal harus memiliki aset fisik yang jelas sebagai jaminan operasional dan legalitasnya. Staf pelayanan Disdikbud Provinsi Lampung, Danny Waluyo Jati, menegaskan hal ini pada 8 Oktober 2025.
Rencana Wali Kota Eva Dwiana yang ingin mengalihfungsikan Terminal Panjang menjadi gedung sekolah juga menuai kritik keras. Terminal Panjang adalah aset pemerintah, bukan milik yayasan sekolah, sehingga langkah ini menimbulkan dilema hukum dan potensi sengketa aset di masa depan. Kondisi ini menambah daftar panjang persoalan hukum dan administratif yang mengelilingi SMA Siger.
DPRD Kota Bandar Lampung pun tercatat senyap terkait prosedur alih anggaran Pemkot untuk mendukung sekolah swasta ini. Keheningan legislatif di tengah isu legalitas sekolah menimbulkan kecurigaan publik bahwa kepentingan politik dan administratif lebih diutamakan dibanding perlindungan hak murid dan tata kelola pendidikan yang baik.
Pemerintah pusat, terutama Kemendikbud, diharapkan turun tangan untuk memastikan legalitas SMA Siger. Langkah ini penting tidak hanya untuk menegakkan aturan, tetapi juga untuk menjamin masa depan puluhan siswa yang saat ini terjebak dalam lembaga pendidikan ilegal. Tanpa tindakan cepat, risiko terjadinya kerugian moral dan pendidikan bagi generasi muda Kota Bandar Lampung semakin tinggi.
Sementara itu, potensi SMA Siger mendapatkan izin tetap dipertanyakan. Tanpa kepemilikan tanah dan bangunan sendiri, legalitas sekolah ini rawan digugat di kemudian hari. Jika izin diterbitkan, masyarakat masih perlu mempertanyakan kredibilitas dan keabsahan lembaga tersebut.
Kasus SMA Swasta Siger menjadi cermin penting bagi pemerintah dan DPRD: Apakah mereka serius menjamin kualitas dan legalitas pendidikan, atau hanya sekadar menutup mata terhadap praktik yang merugikan masyarakat? Publik kini menanti langkah tegas dari semua pihak, termasuk Presiden Prabowo Subianto, agar masalah ini tidak semakin melebar.***
 
	    	 
                                






 
							






